Jakarta, GATRAnews – Keterlibatan masyarakat sipil yang menjadi prinsip Open Government Partnership (OGP) dalam mendorong pembangunan nasional merupakan sebuah keharusan. Pemerintah harus membuka ruang kepada masyarakat sipil pada setiap kebijakan yang diambil. Sayangnya, peran masyarakat sipil saat ini semakin dipinggirkan oleh pemerintah itu sendiri.

Perwakilan Pusat Telaah dan Informasi Regional (PATTIRO), Nanda Sihombing mengemukakan Indonesia saat ini sedang mengalami penurunan ruang sipil. “Indonesia masuk dalam negara yang mengalami kemerosotan tersebut. Faktornya terutama adalah Undang-Undang Organisasi Kemasyarakatan (UU Ormas) yang dianggap membelenggu kebebasan berserikat,” ujarnya dalam Konferensi Tingkat Tinggi Open Government Partnership (OGP Summit) di Mexico City melalui siaran persnya, Jumat (30/10).

Menurutnya, pemerintah Indonesia memerlukan langkah konkret untuk meningkatkan partisipasi publik dalam mengambil kebijakannya. “Harus disertai langkah nyata untuk memperbaiki rapor merah tersebut. Indonesia merupakan negara pendiri OGP. Sangat tidak pantas jika mendapatkan nilai kurang baik,” kata Nanda.

Dalam forum yang sama, Beka Ulung Hapsara, perwakilan International NGO Forum on Indonesia Development (INFID), mengatakan kebijakan pemerintah harus tercermin dalam pelaksanaan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals—SDGs). “Pemerintah harus mencari formula yang tepat agar posisi masyarakat sipil tidak terpinggirkan oleh kekuatan yang memiliki modal sosial dan politik yang lebih besar,” ujar dia.

Sebab, ia mengatakan, jika itu terjadi maka substansi dan peran pembangunan yang dibawa oleh masyarakat sipil justru hilang atau terpinggirkan. Bagi Beka, sekarang ini, kekuatan-kekuatan yang memiliki modal besar cenderung menguasai agenda-agenda pembangunan. Peran masyarakat sipil diperlukan untuk mengimbangi kekeuatan-kekuatan tersebut. “Ini yang harus kita temukan formulanya,” katanya.

OGP Summit berlangsung pada 27-29 Oktober 2015 di Mexico City. Forum ini juga dihadiri Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional. Pertemuan tingkat tinggi tersebut dihadiri sekitar 2.000 peserta dari 65 negara anggota OGP dan negara undangan lainnya.

OGP Summit kali ini berfokus untuk menyoroti bagaimana prinsip-prinsip ‘open government’ mampu mendukung implementasi SDGs. Belasan perwakilan masyarakat sipil Indonesia dari 12 organisasi hadir dan mewarnai forum-forum OGP Summit. Ke-12 organisasi tersebut adalah ICEL, ICW, Infest Yogyakarta, INFID, IPC, Laskar Batang, Media Link, Pattiro, PWYP Indonesia, Seknas Fitra, TII dan Yayasan Tifa.