Koalisi Masyarakat Sipil Publish What You Pay (PWYP) Indonesia, mendesak pemerintah agar konsisten tak lakukan kebijakan pelonggaran (relaksasi) ekspor bahan mentah dan konsentrat mineral. Sebab informasinya, pemerintah bakal kembali melonggarkan larangan ekspor mineral mentah dikarenakan kemungkinan proyek smelter yang molor dari jadwal.

Koordinator Nasional PWYP Indonesia Aryanto Nugroho, menyebut jika relaksasi larangan ekspor mineral mentah dilakukan kembali, menjadi langkah mundur dalam upaya mendorong peningkatan nilai tambah dalam kerangka percepatan transisi energi dan pembangunan berkelanjutan. Langkah tersebut pun bertentangan dengan pernyataan Presiden Jokowi pada Rabu (21/12/2022) yang menyebutkan mulai Juni 2023, pemerintah akan memberlakukan pelarangan ekspor bijih bauksit.

“Dan mendorong industi pengolahan dan pemurnian bauksit di dalam negeri,” ujarnya melalui keterangannya, Jumat (17/2).

PWYP Indonesia menegaskan, rencana kebijakan relaksasi ekspor bertentangan dengan amanat UU No.3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas UU No.4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Seperti diketahui, Pasal 103 UU 3/2020 mewajibkan pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) atau Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) pada tahap kegiatan operasi produksi mineral untuk melakukan pengolahan dan/atau pemurnian mineral hasil penambangan di dalam negeri.

Langkah tersebut pun bakal bertentangan dengan Pasal 170A ayat (1) UU 3/2020 menyebutkan, “Pemegang KK, IUP Operasi Produksi, atau IUPK Operasi Produksi Mineral logam Yang: a. telah melakukan kegiatan Pengolahan dan Pemurnian; b. dalam proses pembangunan fasilitas Pengolahan dan/atau Pemurnian; dan/atau c. telah melakukan kerjasama Pengolahan dan/atau Pemurnian dengan pemegang IUP Operasi Produksi, IUPK Operasi Produksi lainnya, atau IUP Operasi Produksi khusus untuk Pengolahan dan Pemurnian atau pihak lain yang melakukan kegiatan Pengolahan dan/atau Pemurnian, dapat melakukan Penjualan produk Mineral logam tertentu yang belum dimurnikan dalam jumlah tertentu ke luar negeri dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) tahun sejak Undang-Undang ini mulai berlaku”. Sebagaimana diketahui, UU 3/2020 bakal mulai berlaku sejak Juni 2023 mendatang.

Bagi Aryanto, kebijakan tersebut pun bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.10/PUU-XII/2014 yang memperkuat kewajiban pengolahan dan pemurnian di dalam negeri. Putusan MK tersebut pun menyatakan semangat UU Minerba sejalan dengan Pasal 33 UUD 1945. “Karena kewajiban ini secara langsung maupun tidak langsung memberikan manfaat sebesar -besarnya bagi kemakmuran rakyat,” ujarnya.

Aryanto mengatakan, rencana relaksasi larangan ekspor mineral mentah dilakukan kembali malah akan menambah daftar inkonsistensi pemerintah yang harusnya mempercepat realisasi hilirisasi mineral. Mulai dari terbitnya Peraturan Menteri (Permen) Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) No.20 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua atas Permen ESDM No.7 Tahun 2012 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolalhan dan Pemurnian.

Kemudian Permen ESDM No.5 Tahun 2016 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pemberian Rekomendasi Pelaksanaan Penjualan Mineral ke Luar Negeri Hasil Pengolahan dan Pemurnian, PP No.1 Tahun 2017 tentang Perubahan Keempat atas Peraturan Pemerintah No.23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Selanjutnya Permen ESDM No.25 Tahun 2018 tentang Pengusahaan Pertambangan Mineral dan Batubara, hingga Permen ESDM No.17 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pemberian Wilayah, Perizinan, dan Pelaporan Pada Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.

“Total 14 tahun sejak UU Nomor 4 Tahun 2009 diterbitkan, waktu yang diberikan untuk pemerintah dan pelaku usaha untuk membangun industri hilir. Bahwa sampai hari ini, progress hilirisasi masih belum sesuai target, bukan berarti solusinya adalah kebijakan relaksasi ekspor mineral mentah.” Ujarnya.

Dia menduga, lambannya perkembangan hilirisasi mineral dikarenakan pemerintah terus menerus melakukan pelonggaran. Relaksasi ekspor mineral berdampak pada meningkatnya laju eksploitasi sumber daya alam. Pelonggaran kembali kran ekspor mineral mentah dapat mengacaukan upaya pembenahan dan penataan IUP di Indonesia. Selain itu, mengakibatkan pembukaan lahan hutan yang masif timbulnya praktik pertambangan yang tidak bertanggung jawab.

Bagi PWYP, Aryanto melanjutkan, dengan dibukanya kran ekspor mineral mentah, berpotensi memicu keberadaan pertambangan ilegal. Menurutnya pertambangan ilegal tak terbatas pada aktivitas yang tidak berizin, melainkan dapat berbentuk perusahaan berizin. Tapi berproduksi di atas kuota atau menambang di luar areal yang diizinkan, atau menjalankan praktik pertambangan yang tidak baik.

Aryanto juga mengingatkan bahwa kebijakan hilirisasi mineral tidak boleh berseberangan dengan tujuan dari transisi energi untuk adaptasi dan mitigasi dampak perubahan iklim sekaligus pencapaian Sustainable Development Goals (SDG’s). Yakni mineral bakal makin dibutuhkan untuk kebutuhan transisi energi.

“Bukan berarti menjadi pembenar eksploitasi mineral secara besar-besaran. Prinsip-prinsip transisi energi berkeadilan harus tetap menjadi pedoman dalam implementasinya,” ujarnya.

Sebelumnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyinggung halus Uni Eropa agar kemitraan yang dilakukan dengan Negara ASEAN didasarkan pada kesetaraan, tidak boleh ada pemaksaan. Utamanya, diharapkan tak ada lagi pihak yang merasa berhak mendikte kedaulatan Negara lain dan menganggap standar yang digunakan Negara mereka lebih baik dari pada kebijakan Negara mitranya.

“Kalau ingin bangun kemitraan yang lebih baik, maka kemitraan harus didasarkan pada kesetaraan, tidak boleh ada pemaksaaan, tidak boleh lagi ada pihak yang selalu mendikte dan selalu menganggap bahwa my standards is better than yours,” ujar Jokowi dalam gelaran KTT ASEAN-Uni Eropa Partnership di Brussels pada 14 Desember lalu.

Awal 2021 lalu, Uni Eropa pemerintah Indonesia melalui World Trade Organization (WTO) akibat mengeluarkan kebijakan larangan ekspor bijih nikel di awal tahun 2020. Akhir November lalu, Indonesia akhirnya diputus kalah dari Uni Eropa terkait gugatan di WTO. Pemerintah Jokowi tak bergeming dengan mengajukan banding.

Sumber: Hukum Online