REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Koalisi Masyarakat Sipil yang tergabung dalam Publish What You Pay (PWYP) Indonesia mendesak Pemerintah untuk segera menuntaskan proses renegosiasi Kontrak Karya Pertambangan Mineral dan Batubara secara transparan dan akuntabel. Koordinator nasional PWYP Maryati Abdullah menjelaskan bahwa proses renegosiasi kontrak karya pertambangan merupakan salah satu konsekuensi dari pelaksanaan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara.

“Renegosiasi tersebut terutama menyangkut 6 isu strategis: luas wilayah kerja; kelanjutan operasi pertambangan; penerimaan negara; kewajiban pengolahan dan pemurnian; kewajian divestasi; kewajiban penggunaan tenaga kerja, barang dan jasapertambangan dalam negeri,” jelas Maryati, Ahad (15/2).

Sesuai dengan ketentuan peralihan dari UU Nomor 4/2009, lanjut Maryati, penyesuaian tersebut harus dilakukan dalam maksimal 1 (satu) tahun, kecuali mengenai kewajiban pemurnian yang diberi waktu hingga maksimal 5 (lima) tahun sejak peraturan tersebut diundangkan. Maryati menilai pemerintah harus secara transparan menyampaikan kepada publik perkembangan hasil-hasil renegosiasi tersebut, termasuk memaparkan alasan dan kendala kenapa target tersebut tidak tercapai.

“Salah satu proses renegosiasi yang menjadi sorotan publik saat ini adalah PT. Freeport Indonesia,” ujar Maryati. Perusahaan pemegang kontrak karya yang akan berakhir tahun 2021 tersebut baru saja mendapat perpanjangan ijin ekspor konsetrat, meskipun tidak menunjukkan kewajiban signifikan dalam memenuhi kewajiban pembangunan smelter sebagaimana terdapat dalam MOU yang berakhir 24 Januari 2015 kemarin.

“Pemerintah juga harus memperhatikan concern Pemerintah Daerah terkait keinginan agar pabrik smelter PT. Freeport dibangun di Papua,” lanjut Maryati.