Hingga Januari 2018, proses Revisi UU Migas masih dalam tahap harmonisasi di Badan Legislasi. Keberadaannya di Badan Legislasi sudah memakan waktu hampir sepuluh bulan sejak draft RUU diserahkan oleh Komisi VII. Padahal, ketentuan Peraturan Tata Tertib DPR hanya memberikan waktu maksimal 20 hari kerja. Direktur Eksekutif Indonesian Parliamentary Center (IPC), Ahmad Hanafi menyampaikan lambannya revisi UU Migas salah satunya disebabkan karena belum tercapainya kesepahaman mengenai kelembagaan migas.
Untuk mendorong percepatan pembahasan tersebut, IPC dan Koalisi Publish What You Pay (PWYP) Indonesia menyelenggarakan serial diskusi dengan melibatkan pakar dan pengambil kebijakan. Ahmad Redi, Dosen Universitas Tarumanegara berpendapat bahwa mandat Putusan MK Nomor 36/PUU-X/2012 adalah membentuk BUMN di sektor Migas. Sementara itu, Komisi VII DPR mengusulkan pembentukan Badan Usaha Khusus Migas (BUK Migas) yang merupakan peleburan antara seluruh BUMN di sektor migas dan badan pelaksana hulu serta hilir migas.
Di sisi lain, saat ini pemerintah tengah membentuk holding BUMN Migas, yang menggabungkan 3 BUMN sektor migas yaitu Pertamina, PGN, dan Pertagas. Dimana Pertamina berperan sebagai induk holding, dan PGN sebagai anak usaha.
Melihat perkembangan tersebut, Hanafi mengungkapkan bahwa proses pembahasan RUU migas kemungkinan tidak akan selesai dalam waktu dekat. Menurutnya, proses yang lamban ini tentu kontradiktif dengan perlunya respon DPR atas penerapan skema gross split pada blok migas baru yang menggantikan skema Production Sharing Contract (PSC). Karena pengaturan soal gross split seharusnya berada di level Undang-Undang, bukan dengan Peraturan Menteri sebagaimana praktiknya sekarang.