Di penghujung tahun 2018, Pelaksana Tugas (Plt) Gubernur Aceh, Nova Iriansyah menerbitkan Keputusan Gubernur nomor 540/1436/2018 terkait pencabutan dan pengakhiran 98 Izin Usaha Pertambangan (IUP) di Aceh. Upaya penertiban ini diyakini mampu menjadi momentum perbaikan tata kelola lahan di Aceh. Untuk itu, Publish What You Pay (PWYP) Indonesia bersama GeRAK Aceh menyelenggarakan diskusi multi pihak menyoal pemanfaatan lahan bekas tambang sebagai tindak lanjut penertiban izin di Banda Aceh pada (28/3).
Membuka diskusi, Fernan selaku Kepala Divisi Kebijakan Publik dan Anggaran GeRAK Aceh menuturkan luasan lahan bekas tambang pasca penertiban izin di Aceh mencapai 549.619 ha. Angka ini mencapai 10% total luas Aceh. Penting untuk dikawal pemanfaatannya ke depannya, terlebih kebijakan moratorium izin tambang di Aceh tidak lagi diteruskan.
Said Faisal, Kepala Bidang Mineral dan Batubara (minerba) Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Aceh membenarkan bahwa hasil identifikasi Dinas ESDM terhadap total luasan izin yang dicabut atau diakhiri melalui Keputusan Gubernur di tahun 2018 mencapai 500 ribuan ha. Namun identifikasi yang dilakukan baru berbasis dokumen. Pengecekan lapangan belum dilakukan karena keterbatasan sumber daya.
Said melanjutkan, “Kini jumlah IUP minerba yang menjadi kewenangan pemerintah provinsi Aceh hanya berjumlah 28 dengan luasan mencapai 48.136 ha. Dari luasan tersebut, hanya 2% yang berada di hutan produksi dan perusahaan telah mengantongi Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) untuk beroperasi di sana. Sementara sisanya berada di Area Penggunaan Lain (APL)”.
Fahmi Riza, perwakilan Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Aceh yang juga hadir sebagai narasumber diskusi menjelaskan secara prinsip terdapat dua skema pemanfaatan lahan bekas hak, yakni ditetapkan menjadi Tanah Cadangan Umum Negara (TCUN) dan pemanfaatan sesuai rencana tata ruang wilayah (RTRW) kabupaten/kota.
Tata kelola lahan pasca pencabutan dan pengakhiran IUP diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) No 77 Tahun 2014. Disebutkan dalam peraturan ini bahwa wilayah izin usaha pertambangan (WIUP) dari IUP yang dicabut atau tidak diperpanjang dikembalikan lagi ke menteri atau gubernur sesuai kewenangannya. Selanjutnya WIUP dapat kembali ditetapkan menjadi WIUP/K dan atau diusulkan menjadi Wilayah Pencadangan Negara (WPN) berdasarkan evaluasi menteri. WIUP lalu dapat diberikan melalui lelang untuk minerba dan permohonan wilayah untuk mineral non-logam dan batuan.
Rizky Ananda Wulan, Program Manager PWYP Indonesia menjelaskan terdapat dua hal yang perlu dilakukan. Pertama, identifikasi kepatuhan kewajiban keuangan maupun lingkungan pemilik IUP yang telah dicabut atau diakhiri. Pencabutan atau pengakhiran tidak serta merta menghilangkan kewajiban mereka. Kedua, identifikasi lahan tambang, termasuk status lahan dan kondisi riil lahannya. Juga perlu diidentifikasi status peruntukkan lahannya, sesuai rencana reklamasi dan pascatambang serta RTRW.
“Pemanfaatan lahan bekas tambang tidak bisa disamaratakan di seluruh kabupaten/kota. Perlu dilakukan analisis lebih jauh, termasuk analisis daya dukung lingkungan serta biaya-manfaat. Untuk itu, diperlukan keterlibatan dari pemangku kepentingan yang lain seperti Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan juga Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, karena persoalan ini seyogyanya bersifat lintas sektor”, tukas Rizky.