12 Januari 2023 – Aryanto Nugroho, Koordinator Nasional Publish What You Pay (PWYP Indonesia), menjadi narasumber dalam diskusi yang merupakan bagian dari seri webinar transisi energi bersih yang berpusat pada partisipasi masyarakat yang diselenggarakan oleh International Energy Agency (IEA). Webinar ini membahas isu-isu utama untuk dialog sosial dan keterlibatan warga/komunitas sebagai bagian dari proses pengambilan keputusan.

Pelibatan warga/komunitas sebagai peserta aktif harus menjadi bagian integral dalam merancang kebijakan energi bersih untuk membangun dukungan publik, memasukkan perspektif lokal, mengundang ide-ide inovatif dari berbagai pemangku kepentingan, dan membantu menciptakan rencana yang berkelanjutan serta sesuai budaya yang berlaku.

Webinar ini mengeksplorasi pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut: Bagaimana warga/komunitas dapat terlibat dalam mencapai pemahaman bersama tentang masalah dan solusi terkait perubahan iklim? Bagaimana proses pelibatan warga/komunitas dalam perubahan iklim dapat dirancang untuk memastikan bahwa proses tersebut memberikan rekomendasi/hasil yang substantif dan dapat ditindaklanjuti? Bagaimana proses pelibatan warga/komunitas dapat dirancang agar suara mereka yang biasanya tidak berpartisipasi dalam metode partisipatif juga terwakili?

Turut hadir pula beberapa ahli, yaitu Graham Smith, Chair Knowledge Network on Climate Assemblies (KNOCA); Art O’Leary, Sekretaris Jenderal Electoral Commission of Ireland & Secretary to the Citizens’ Assemblies on Biodiversity Loss; Shirley Dawe, Direktur Eksekutif Crown-Indigenous Consultation Coordination/Nòkwewashk, Natural Resources Canada; Yeonji Kim, Presiden 1.5°C Plan Lab sekaligus Former Director, Citizen’s Energy Cooperation Division, Seoul Metropolitan Government; Asma Rouabhia & David Arinze, Global Focal Points, SDG7 Youth Constituency.
Aryanto memulai dengan konteks Kepresidenan G20 Indonesia beberapa waktu lalu, dimana Kelompok Kerja Transisi Energi (ETWG) dan Pertemuan Tingkat Menteri untuk Transisi Energi (ETMM) mencapai kesepakatan untuk mengesahkan Bali COMPACT (prinsip-prinsip dasar yang menjadi landasan dan acuan bagi seluruh anggota G20 dalam menjalankan rencana transisi energi nasional masing-masing negara).

“Pertanyaan mendasarnya adalah sejauh mana waga/komunitas, terutama warga/komunitas terdampak yang sebagian besar berada di daerah terpencil, dapat dilibatkan dalam pengambilan keputusan kebijakan, implementasi serta monitoring dan evaluasi dalam proses transisi energi, sehingga benar-benar terjadi transisi energi yang berkeadilan,” kata Aryanto.
Berkaca dari pengalaman Indonesia, isu transisi energi, termasuk yang dibahas dan menjadi hasil dari pertemuan G20 lalu, telah menjadi wacana yang cukup hangat di publik. Namun, wacana ini masih berada di level kelas menengah atas, di kota-kota besar dan belum menjadi isu di tingkat lokal atau akar rumput. Padahal masyarakat di tingkat tapak, termasuk perempuan, anak-anak, masyarakat adat, dan kelompok rentan lainnya, merupakan pihak yang paling terdampak dari proses transisi energi ini.

Di Indonesia, ruang bagi masyarakat sipil, khususnya komunitas (yang perlu ditingkatkan oleh pemerintah), masih sangat minim dalam proses pembuatan kebijakan. Sebagai contoh, beberapa undang-undang di sektor Energi dan Sumber Daya Alam, seperti UU Minerba, Omnibus Law, dan Energi Terbarukan, selalu menjadi kontroversi terkait aspek transparansi dan partisipasi.
Meskipun Pemerintah telah melakukan konsultasi publik dan menyediakan mekanisme penanganan pengaduan secara online, namun sekali lagi, warga/komunitas yang terkena dampak di daerah-daerah terpencil membutuhkan akses untuk berpartisipasi.

Aryanto mengatakan, “Dalam perspektif kami, definisi tata kelola pemerintahan yang baik, yaitu transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi, harus dikaitkan dengan hak-hak warga negara. Transparansi untuk menjamin hak untuk tahu, akuntabilitas untuk menjamin hak untuk meng-klaim, dan partisipasi untuk menjamin hak untuk terlibat. Jadi ketika pemerintah menyediakan informasi melalui website atau saluran lainnya, bukan berarti hak warga negara untuk tahu sudah terpenuhi ketika masyarakat terdampak tidak dapat mengaksesnya.”

Aryanto juga menyampaikan program yang sedang dijalankan PWYP Indonesia, yaitu “Engaging Communities in a Just Transition through EITI Implementation Program,” yang bertujuan untuk melihat dampak yang terjadi di tingkat daerah (provinsi dan kabupaten) hingga ke tingkat warga/komunitas dari pelaksanaan transisi energi, terutama di daerah yang memiliki potensi ekstraktif dan aktivitas sumber daya alam di tingkat lokal – yang dilakukan di Kabupaten Morowali Utara yang dikenal memiliki kandungan nikel terluas di Indonesia dan telah memulai aktivitas industri manufaktur baterai untuk implementasi otomotif, penyimpanan arus listrik dan penyimpanan energi untuk kebutuhan pemukiman dan industri.

Penulis: Aryanto Nugroho


Bagikan