JAKARTA – Koalisi Masyarakat Sipil Publish What You Pay (PWYP) Indonesia, mendesak pemerintah untuk tidak kembali melakukan kebijakan relaksasi pertambangan mineral khususnya untuk ekspor konsentrat. Pemerintah harus patuh dan konsisten untuk menjalankan amanat pasal 102 dan 103 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dab Batubara (UU Mimerba) yang mewajibkan perusahaan minerba untuk melakukan pengolahan dan pemurnian hasil penambangan di dalam negeri. Termasuk juga patuh dan konsisten menjalankan pasal 170 yang mewajibkan seluruh pemegang kontrak karya untuk yang sudah berproduksi untuk melakukan pemurnian selambat-lambatnya 5 (lima) tahun sejak UU Minerba diundangkan.
Kebijakan relaksasi ekspor mineral kembali diwacanakan oleh pemerintah seiring dengan semakin dekatnya batas waktu ekspor konsentrat mineral yang jatuh pada tanggal 12 Januari 2017. Pemerintah melalui Plt, Menteri ESDM Luhut Binsar Panjaitan berencana untuk membuka kembali keran ekspor konsentrat melalui revisi UU Minerba maupun evaluasi terhadap seluruh aturan turunan dari UU Minerba. Alasan pemerintah adalah untuk menjaga industri mineral tetap berjalan di tengah harga komoditas yang anjlok. Selain itu, memberikan kesempatan bagi perusahaan tambang untuk mencari tambahan dana bagi pembangunan smelter, mengingat progress pembangunan smelter tidak menunjukkan perkembangan yang signifikan. Hingga Juni 2016, total pembangunan smelter baru mencapai 27 unit, yakni delapan smelter nikel, dua smelter bauksit, satu smelter mangan, 11 smelter zircon, satu smelter timbal dan seng, dua smelter kaolin dan dua smelter zeolit (Kementerian ESDM, 2016).
Koordinator Nasional PWYP Indonesia, Maryati Abdullah menyatakan “(8) delapan tahun waktu yang sudah diberikan oleh pemerintah untuk hilirisasi, yaitu 5 (lima) tahun setelah UU Minerba (2014) dan 3 (tiga) tahun setelah Peraturan Menteri (Permen) ESDM No 1 Tahun 2014 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral, seharusnya sudah lebih dari cukup untuk menjalankan kewajiban hilirisasi. Apabila pemerintah memberikan relaksasi ekpsort konsentrat selama 5 (lima) tahun kembali, maka total 13 (tiga belas) tahun waktu yang diberikan untuk menjalankan hilirisasi. Tentu saja ini akan menjadi preseden yang buruk dimana lagi-lagi pemerintah justru yang tidak patuh dan tidak konsisten menjalankan perintah undang-undang dan kebijakan lainnya.”
Relaksasi kebijakan hilirisasi oleh pemerintah dimulai ketika pemerintah menerbitkan Permen ESDM No 20 tahun 2013 yang memberikan waktu bagi Izin Usaha Pertambangan (IUP) untuk melakukan ekspor mineral mentah secara bersyarat hingga 12 Januari 2014. Selanjutnya, pemerintah juga menerbitkan Permen ESDM No 1 Tahun 2014 yang memberikan ruang bagi perusahaan, khususnya pemegang Kontrak Karya, untuk melakukan ekspor konsentrat mineral secara bersyarat hingga Januari 2017. “Terakhir, pemerintah menerbitkan Permen ESDM No 5 tahun 2016 tentang Tata Cara Dan Persyaratan Pemberian Rekomendasi Pelaksanaan Penjualan Mineral Ke Luar Negeri Hasil Pengolahan Dan Pemurnian yang kami ‘duga’ memberikan kemudahan bagi pemegang kontrak karya untuk ekspor konsentrat meskipun syarat dalam aturan sebelumnya, yaitu Permen ESDM 11/2014, tidak terpenuhi.” Jelas Maryati.
Maryati Abdullah menuturkan bahwa kebijakan hilirisasi tidak dapat dimaknai hanya sebatas larangan ekspor mineral mentah (raw material) atau olahan (konsentrat), akan tetapi merupakan bagian dari upaya melakukan penataan IUP yang jumlahnya mencapai ribuan dengan status Non Clean and Clear (CnC); melindungi sumber daya alam Indonesia di masa sekarang dan masa mendatang melalui mekanisme peningkatan nilai tambah hasil tambang. Kebijakan ini penting bagi Indonesia yang selama ini menggantungkan perekonomiannya melalui ekspor bahan mentah. Hilirisasi akan memberikan nilai tambah bagi industri yang berkonsekuensi pada kenaikan penerimaan negara, penerimaan pajak maupun penerimaan negara bukan pajak. Termasuk memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi secara umum melalui trickle down effect industri hilirisasi.
“Kebijakan Peningkatan Nilai Tambah merupakan salah satu janji dalam Nawa Cita Program Pemerintahan Jokowi – JK sehingga konsistensi pemerintah sangat dibutuhkan dalam pelaksanannya. Selain itu pemerintah tidak boleh abai atas Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 10/PUU-XII/2014 yang memperkuat kewajiban pengolahan dan pemurnian di dalam negeri dan menyatakan bahwa semangat UU Minerba sejalan dengan Pasal 33 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 karena kewajiban ini secara langsung maupun tidak langsung memberikan manfaat sebesar – besarnya bagi kemakmuran rakyat. Jadi, sudah jelas pilihan bagi pemerintah saat ini, tunduk dan patuh terhadap ketentuan UU Minerba dan Putusan MK ” imbuh Maryati.
Manajer Komunikasi PWYP Indonesia, Agung Budiono menyampaikan bahwa saat ini sudah bukan waktu yang tepat bagi pemerintah untuk mewacanakan kembali relaksasi ekspor konsentrat. “Justru yang dibutuhkan saat ini adalah strategi yang menyeluruh dari hulu hingga hilir guna menjamin implementasi kebijakan di sektor minerba; memastikan progress seluruh pembangunan smelter yang saat ini sedang berjalan termasuk didalamnya memastikan berjalannya kewajiban pembangunan smelter bagi pemegang Kontrak Karya; melakukan koordinasi yang intens dengan kementerian yang terkait dengan pengembangan industri hilir termasuk mitigasi terhadap persoalan-persoalan lingkungan dan sosial akibat berkembangnya industri hilir.” jelas Agung.
Agung Budiono juga mengingatkan agar pemerintah melakukan pengawasan yang ketat terhadap pelabuhan-pelabuhan “tikus” yang kerap digunakan oleh para pengusaha tambang mineral yang melakukan ekspor material mentah secara diam-diam. Memperbaiki sistem pengawasan terhadap pelabuhan-pelabuhan yang menjadi pintu keluar bahan minerba; membangun dan mengembangkan aspek-aspek kepelabuhan yang terintegrasi dengan standar IT. Termasuk juga aspek penegakan hukum terhadap perusahaan-perusahaan yang terbukti melakukan ekspor ilegal.