Selasa, 24 Desember 2013 | 18.13

Jakarta, indoPetroNews.com – UU Migas Revisi belum selesai dirampungkan. Sementara BP Migas (Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi) sudah dibubarkan Mahkamah Konstitusi (MK), 13 November 2013 lalu. MK dalam putusannya Nomor 36/PUU-X/2012 (Putusan MK 36) telah memutuskanketentuan yang berkaitan BP Migas inkonstitusional. Dalam putusan itu BP Migas dinyatakan bubar sejak putusan diucapkan.

Pembubaran BP Migas dalam penilaian MK, perannya dilakukan oleh pemerintah cq kementerian terkait. Selanjutnya, MK memutuskan, segala hak serta kewenangan BP Migas setelah putusan ini, dilaksanakan oleh Badan Usaha Milik Negara yang ditetapkan oleh Pemerintah. Di sinilah kemudian timbul wacana dan perdebatan kembali, apakah BP Migas atau sekarang “SKK Migas” akan bediri sendiri di bawah pemerintah, menjadi lembaga dengan payung BUMN atau masuk menjadi bagian dari Pertamina.

Menurut Hikmahanto Juwana, Guru Besar Hukum Internasional dari Universitas Indonesia, untuk memahami jawaban atas format kelembagaan pasca putusan MK, perlu dipahami, ada tiga model hubungan antara negara dengan pelaku usaha dalam pengelolaan sumber daya alam yang berlaku selama ini di Indonesia.

Model pertama adalah model hubungan kontraktual antara Negara dengan Pelaku Usaha (Government to Business). Model ini dikembangkan di sektor pertambangan umum berdasarkan Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967 (UU 11/1967). Contoh dari model ini adalah Kontrak Karya antara Negara yang diwakili oleh Pemerintah dengan PT Freeport Indonesia atau Negara dengan PT Newmont Nusa Tenggara.

Hanya saja rejim kontrak berdasarkan UU 11/1967 telah ditinggalkan dan diganti dengan rejim ijin berdasarkan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara (UU 4/2009). UU 4/2009 menggantikan UU 11/1967. Dalam hubungan kontraktual kedudukan Negara setara dengan pelaku bisnis. Suatu hubungan yang sebenarnya ingin diperbaiki oleh para pemohon uji materi atas UU Migas, meski dalam putusan MK kenyataannya tidak demikian.

Model kedua adalah hubungan kontraktual antara entitas yang dibentuk oleh Negara namun terpisah darinya. Entitas ini tetap dalam kendali negara melalui pemerintah. Dalam model kedua ini entitas yang ditunjuk oleh negara mendapat pelimpahan kewenangan dari negara. Entitas ini yang berkontrak dengan kontraktor. Pertamina sebelum berlakunya UU Migas dan BP Migas adalah perwujudan model ini. Dua model itu, menurut Hikmahanto merupakan rezim kontrak yang dianut di suatu negara atas pengelolaan sumber daya alam.

Model terakhir, sambungnya, adalah negara berkedudukan sebagai pemberi izin atau konsesi terhadap kontraktor dan pelaku usaha. Model ini yang dikenal dengan rezim izin sebagaimana dianut dalam UU 4/2009. Dalam rezim izin maka kedudukan negara sebagai pemberi izin lebih tinggi daripada pelaku usaha. Negara dalam posisi vertikal di atas, tidak horizontal setara dengan Kontraktor.
“Dalam sistem kontrak kesetaraan antar para pihak, termasuk negara, merupakan prasyarat mengingat sebuah kontrak membutuhkan unsur kesepakatan,” tegasnya.

BP Migas Minus atau Pertamina Kuda Laut Minus?

Hikmahanto saat ditemui indoPetro di kampusnya (27/11) mengemukakan, dirinya lebih cenderung lembaga pengganti BP Migas atau “SKK Migas” baru dapat melakukan kegiatan-kegiatan yang mewakili pemerintah. “Berbeda dengan Pertamina, dia (lembaga baru) tidak melakukan fungsi legislasi. Legislasi itu domainnyakementerian atau dirjen migas.

Pertanyannya, dapatkah lembaga baru itu melakukan tender terhadap blok migas? Hikmahanto menjelaskan, lembaga baru itu dapat saja melakukan itu (tender blok. Karena selama ini kan pemerintah yang melakukan itu, tapi yang ‘teken’ kontrak itu lembaga ini (SKK Migas-red). “Tetapi kemudian kenapa tidak lembaga ini saja. Tapi dengan catatan harus dijaga. Karena misalnya soal tender-tender seperti itu, apabilamanusianya tidak hati-hati, ya bisa “bermain” juga. Sehingga harus dijaga dari sisigovernance (tata kelola)-nya,” paparnya.

Sehingga dengan model seperti itu, terang Hikmahanto, seolah-olah lembaga baru itu seperti Pertamina jaman dulu. ‘Wilayah pertambangan (WK) ini diserahkan kepada lembaga ini, untuk kemudian mereka yang menjalani. Nah nanti setelah itu kalau sudah di-break (habis kontrak), mereka yang tanda tangan. Mereka yang lakukan proses tendernya, bertanda tangan dengan pihak kontraktor. Nanti bisa saja, kalau ada minyak yang diangkat, bagian yang untuk swasta, ya untuk swasta, tapi kalau bagian yang buat pemerintah, ya dijual lagi oleh lembaga ini. lembaga ini, setelah dia mendapatkan uangnya, lalu masuk ke kas negara. Misalnya seperti itu,” jelas Hikmahanto.

“Jadi BP Migas plus, tapi Pertamina kuda laut minus,” tegasnya.

Pertamina kuda laut itu (Pertamina sesuai UU No.8/1971), lanjut dia, kan ada 4 peran. Pertama, pembagian antara hulu dan hilir. Ini nggak, ini Cuma hulu saja. Hulu, kemudian, ada peran dia sebagai regulator, peran dia sebagai wakil pemerintah, peran dia sebagai operator, kan gitu. Makanya saya katakan ini minus.

Mengawal Revisi UU lewat Usulan Draft

Sementara itu Maryati Abdullah, Koordinator PWYP (Publish What You Pay), NGO (Non Government Organization) yang membawahi sekitar 38 ornop (organisasi non pemerintah) di Indonesia, juga turut mengambil perhatian dan aktif menggodok tata kelembagaan dalam UU Migas Revisi. Bahkan bersama konsorsium lembaganya, turut merancang tata kelembagaan UU Migas tersebut.

Menurutnya perhatian ini penting, mengingat UU Migas merupakan frame workregulasi yang berkaitan dengan tata kelola. “Kita mengawal di situ karena rata-ratakebijakan di Indonesia kan hukum positif. Sehingga kita juga mengikuti proses yang berjalan. Karena secara konsituten, mau tidak mau kebijakan revisi UU akan berdampak pada masa depan pemda dan masyarakat lokal,” katanya.

PWYP sendiri menurut Maryati, selain concern pada hal kajian, juga sudah menghasilkan tiga policy brief. Yakni Transparansi, partisipasi, dan keterbukaan informasi publik. Kemudian isu kepentingan daerah dalam UU Migas, dan isi petroleum fund.

Sebenarnya, jelas Maryati, sebelum ada keputusan MK terkait pembubaran BP Migas, lembaganya sudah merencanakan dan melakukan kajian terkait tata kelola kelembagaan di migas. “Karena sejak dulu kan memang secara politik ada tarik menarik yang ingin ke Pertamina. Setelah ada keputusan MK, makin keras lagi tuntutannya,” ungkapnya. Sekarang ini lanjut Maryati, dia dan teman-teman masihmelakukan kajian untuk lebih jelas positioning-nya. Tapi yang jelas posisi kelembagaan PWYP sudah mendorong proses yang lebih tranparan dan akuntabel.

Mengenai arah usulan kelembagaan yang diusulkan, Maryati masih menolak memberikan penjelasan. Tetapi yang pasti, jelas dia, ikuti saja keputusan MK, supaya aman. Biar itu tidak berubah-ubah. Yang kedua, tentu bentuknya badan usaha, sebagaimana bunyi keputusan MK. “Bahkan MK menyebutkan BUMN,” Maryati menegaskan.

“Kalau masalah mau Pertamina atau yang baru itu terserah. Itu bagian lebih lanjut setelah UU ini. Karena UU tidak harus menyebut nama perusahaannya. Pasal di sini pun bisa kita atur, dalam bentuk BUMN atau apa, tinggal diatur dalam PP seperti apa. Kalau kita jelas lebih ke bentuk badan usaha, karena dia bisa menjalankan business to business. Itu kriteria pertama. Kenapa? Karena lembaga itu harus bisa bernegosiasi dalam konteks kepentingan negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Terus, kalau badan usaha, secara klausul keuangan badan usaha, itu diaudit oleh badan usaha, bukan oleh badan hukum,” papar Maryati.

Mengenai fungsi BUMN yang biasanya cenderung berorientasi profit (keuntungan sebesar-besarnya), Maryati meluruskan. “Tugas BUMN yang baru nantinya akan mengelola sumber daya alam, dia sebenarnya memegang amanat negara. Memanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmura rakyat. Artinya kalau dia badan usaha, harus mencari benefit, tapi secara akuntabalitas, dia harus tetap diaudit sebagai bentuk keuangan negara seperti BUMN-BUMN yang lain. Karena uu keuangan negara kita, BUMN itu termasuk dalam lingkup keuangan negara, sehingga harus diaudit oleh BPK. Dan kalau ada kerugian, itu dapat dikenakan uu anti korupsi,” jelasnya.

“Selama perusahaan itu milik negara, dan saham negara masih tinggi, berarti dia kan harus berikan deviden yang banyak ke negara.,” tegas Maryati.

Terkait isu kelembagaan yang diusung Maryati dan kawan-kawan, ada beberapa hal yang menurutnya juga penting untuk dijadikan perhatian, seperti bagaimana mekanisme pengisian lembaganya. Termasuk pemilihan ketuanya, komisaris, dan sebagainya. Menurut Maryati, semua itu harus melalui fit and proper test DPR. Kalau perlu ada publik juga. Ada mekanisme pengawasan pada lembaga ini. Juga pengawasnya. “Kalau bisa harus baru lah orang-orangnya. Lalu bagaimana bentukpertanggungjawabannya dan akuntablitasnya kepada negara,” pungkasnya. Kusairi

Sumber :

indoPetroNews.com