Jakarta, CNN Indonesia — Sejumlah lembaga swadaya masyarakat yang tergabung dalam Forum Pajak Berkeadilan berpandangan bahwa adanya sejumlah nama pengusaha dan elite politik Indonesia yang tercantum dalam data Panama Papers menjadi bukti bahwa Indonesia sedang dalam darurat mafia perpajakan.
Direktur Eksekutif Perkumpulan Prakarsa, Ah. Maftuchan, menuturkan Panama Papers mengungkap praktik gelap ribuan perusahaan siluman dan perilaku ribuan orang super kaya di seluruh dunia dalam pengelolaan keuangannya. Panama adalah salah satu negara surga pajak sehingga kuat dugaan bahwa mereka sedari awal punya rencana melakukan penghindaran atau pengelakan pajak (tax avoidance/tax evasion).
Panama, tutur Maftuchan, hanya satu dari puluhan negara tax havens yang menyediakan fasilitas bagi korporasi, orang super kaya, dan pelaku kejahatan lainnya agar dapat menghindari dan mengelak bayar pajak. Menurutnya, banyaknya pengusaha dan elite politik yang masuk daftar Panama Papers mengkonfirmasi bahwa praktik-praktik kotor penghindaran dan pengelakan pajak telah menjadi ancaman serius bagi negara-negara dalam mobilisasi penerimaan pajak untuk pembiayaan pembangunan.
“Panama Papers menunjukkan bahwa dunia sudah berada di era darurat kejahatan pajak. Hal ini harus menjadi momentum bagi pemerintah Indonesia untuk segera membasmi praktik pengindaran pajak, pengelakan pajak, dan pencucian uang oleh wajib pajak Indonesia, baik perorangan maupun badan hukum,” ujar Maftuchan di Kantor Transparency International Indonesia (TII), Jakarta, Ahad (10/4).
Dia pun mengusulkan agar Presiden Joko Widodo segera membentuk Gugus Kerja Anti Mafia Kejahatan Pajak yang berisi gabungan antara lembaga pemerintah dan non-pemerintah yang kredibel. “Gugus Tugas bekerja untuk mengusut daftar nama yang masuk Panama Papers dan negara surga pajak lainnya,” katanya.
Maftuchan menyebutkan, beberapa permasalahan serupa juga pernah muncul sebelum adanya Panama Papers, yakni pada saat Luxembourg Leaks yang terjadi November 2014 lalu.
“Sebuah kebocoran data di Luxembourg yang juga merupakan tax havens country. Ini juga menggugah mata dunia bahwa permasalahan pajak sangat pelik dan banyak kejahatan di dalamnya. Bedanya, pada saat Luxembourg Leaks, masyarakat dunia belum merasa bahwa ini isu yang harus segera diatasi,” ujarnya.
Sementara itu, Program Manager International NGO for Indonesia Development (INFID) Khoirun Nikmah menyampaikan, Panama Papers juga menunjukkan buruknya sistem keuangan dan ekonomi global. Ia berpandangan, sistem ekonomi harus segera ditata ulang dan Indonesia perlu memelopori perubahan tata kelola keuangan global terkait sistem perpajakan, penghentian rezim kerahasiaan data perpajakan dan perbankan, pertukaran informasi antarnegara dan penguatan hukum, administrasi, dan kelembagaan perpajakan.
“Presiden Jokowi dapat menggunakan forum G20 sebagai ruang untuk mendesakkan agenda-agenda tersebut. Selain itu, Presiden dapat mengusulkan pembentukan Badan Perpajakan Dunia di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB),” katanya.
Sekretaris Jenderal TII Dadang Trisasongko mengatakan, Global Financial Integrity (GFI) 2015 melaporkan bahwa setiap tahun negara berkembang kehilangan US$1 triliun akibat korupsi, penggelapan pajak, dan pencucian uang. GFI, ucapnya, memprediksi bahwa potensi pajak yang menguap dari Indonesia karena praktik pelarian uang haram dari Indonesia hampir Rp200 triliun setiap tahunnya.
“Tingginya aliran uang haram dari Indonesia diakibatkan rendahnya tingkat kepatuhan wajib pajak, tingginya prevalensi korupsi pajak, praktik penggelapan, dan penghindaran pajak dengan metode perekayasaan keuangan yang rumit, dan rendahnya kinerja otoritas pajak Indonesia,” ujarnya.
Kordinator Nasional Koalisi Publish What You Pay (PWYP) Indonesia Maryati Abdullah menyebutkan, Indonesia berada pada posisi ke-7 dari negara-negara yang memiliki aliran uang haram tertinggi. Dalam rentang 2003 hingga 2012, Indonesia tercatat mengalirkan dana senilai Rp1.699 triliun, atau rata-rata mencapai Rp167 triliun per tahunnya.
“Dengan metode penghitungan yang sama, PWYP Indonesia mencatat dugaan total aliran uang haram di Indonesia di tahun 2014 sebesar Rp227,75 triliun atau setara dengan 11,7 persen dari total APBN-P tahun 2014,” katanya.
Khusus di sektor pertambangan, ujar Maryati, nilai aliran uang haram diperkirakan mencapai Rp23,89 triliun, di mana Rp21,33 triliun berasal dari transaksi perdagangan ilegal dan Rp2,56 triliun berasal dari aliran uang panas.
“Di tengah rendahnya tax ratio sektor pertambangan yang hanya mencapai 9,4 persen mengindikasikan masih maraknya praktik penghindaran dan pengemplangan pajak di sektor pertambangan,” ujarnya.
Dengan adanya permasalahan ini, Maftuchan menegaskan bahwa forumnya mendesak pemerintah untuk membatalkan rencana pemberian pengampunya pajak (tax amnesty) kepada wajib pajak super kaya dan korporasi, karena akan kontra-produktif terhadap upaya optimalisasi penerimaan pajak.
“Ini juga akan menjadi langkah muncur penegakan hukum perpajakan dan pencucian uang. Di samping itu, pengampunan pajak akan menurunkan tingkat kepatuhan wajib pajak untuk membayar pajak, pengampunan pajak akan melemahkan wibawa pemerintah di hadapan orang super kaya dan korporasi dan pengampunan pajak akan melukai wajib pajak kecil-menengah yang selama ini patuh bayar pajak,” tutur Maftuchan.
sumber: di sini.