Jakarta – Menyoroti isu mineral kritis yang semakin menjadi diskursus publik, Publish What You Pay (PWYP) Indonesia selenggarakan PWYP Knowledge Forum (PKF) pada 7 Maret 2025 di Jakarta dengan topik “Overview UN Critical Energy Transition Mineral (CETM) Panel dan Regulasi EU Terkait”. PKF adalah forum diskusi dan berbagi pengetahuan yang diselenggarakan secara rutin oleh koalisi PWYP Indonesia, dengan tujuan untuk meningkatkan pemahaman dan kapasitas, serta mengembangkan diskursus publik terkait isu, topik dan kebijakan di sektor sumber daya alam. PKF kali ini menghadirkan Muhammad Dwiki Mahendra, International Student Internship di PWYP Indonesia, yang juga tengah menempuh pendidikan master di Peace and Conflict Studies, Universität Magdeburg, sebagai pemantik diskusi,
Dwiki menjelaskan secara umum terkait United Nations (UN) Critical Energy Transition Minerals (CETM) Panel dan dua regulasi terkait Uni Eropa, yakni: European Unions (EU) Critical Raw Materials Act (CRMA) dan EU New Battery Regulation. Dwiki memulai paparannya dengan menjelaskan bagaimana mineral kritis didefinisikan dan bagaimana isu ini tumbuh sedemikian rupa menjadi isu yang penting. Menurutnya penetapan capaian netralitas karbon pada 2050 (atau Net Zero by 2050) adalah titik awal dimana narasi dan upaya terhadap proses transisi energi gencar dilakukan. Proses transisi energi inilah yang kemudian mendorong meningkatnya kebutuhan negara-negara, khususnya negara barat, terhadap pasokan mineral kritis. Hal ini juga kemudian menjelaskan bagaimana mineral kritis dan mineral strategis awalnya digunakan oleh banyak negara barat atau kawasan seperti Uni Eropa. Perhatian terhadap mineral kritis dan strategis inilah yang kemudian mendorong munculnya inisiatif global seperti UN CETM Panel ataupun produk hukum seperti EU CRMA.
UN CETM Panel merupakan panel yang diinisiasi pada COP 28 pada Desember 2023 yang kemudian secara resmi diluncurkan pada April 2024. Panel CETM beranggotakan 24 perwakilan dari pemerintah negara, termasuk Indonesia; dan 14 aktor non-negara, dari berbagai kawasan. Dalam prosesnya, panel ini dibagi ke dalam 4 kelompok kerja yang fokus pada isu berbeda yakni: 1) Benefit sharing, local value addition and economic diversification; 2) Transparent and fair trade and investments; 3) Sustainable, responsible and just value chains; dan 4) Mineral value chain stability and resilience. Panel ini kemudian menghasilkan 7 Guiding Principles serta 5 Actionable Recommendations.
Dwiki kemudian menyandingkan UN CETM Panel dengan regulasi Uni Eropa seperti EU New Battery Regulation dan EU CRMA. Secara umum, EU New Battery Regulations mengatur persyaratan wajib untuk semua baterai yang masuk ke pasar Uni Eropa (kecuali untuk keperluan militer, luar angkasa, dan nuklir). Hal ini termasuk penetapan standar keberlanjutan untuk baterai sepanjang siklus hidupnya dan juga siklus daur ulangnya, yang mencakup penetapan ambang batas jejak karbon dan due diligence dalam proses sourcing bahan mentah. Lanjutnya, EU New Battery Regulations fokus mengatur pasokan baterai mentah yang telah berada di Uni Eropa serta mengurangi dependensi terhadap virgin raw material. Di sisi lain, hal ini cenderung bertolak belakang dengan EU CRMA yang bertujuan untuk mengamankan rantai pasok dan akses bahan mentah bagi Uni Eropa. UN CETM panel di sisi lain tidak memiliki kapasitas untuk muncul sebagai kerangka kerja yang melindungi negara produsen dan masyarakat lokal karena bersifat non-binding dan hanya berfungsi sebagai biru yang dapat diadopsi oleh negara-negara ke dalam kebijakan nasional masing-masing
EU CRMA yang memiliki cakupan yang lebih luas dan kompleks mengatur upaya-upaya peningkatan ketahanan rantai pasok di kawasan serta memperkuat keterlibatan internasional untuk mengembangkan kemitraan yang saling menguntungkan dengan negara ketiga. Sehingga hal ini tentu saja mencakup upaya mengamankan hulu produksi atau akses terhadap ekstraksi sumber daya mineral yang menjadi tahapan pertama dari rantai pasok. Hal ini mendorong operasi pertambangan dan eksplorasi pertambangan baru demi kepentingan pemenuhan kebutuhan sumber daya mineral.
Secara umum, EU CRMA memiliki target yang ingin dicapai pada tahun 2030, yang antara lain:
- setidaknya 10% dari konsumsi tahunan Uni Eropa untuk ekstraksi
- setidaknya 40% dari konsumsi tahunan Uni Eropa untuk pengolahan
- setidaknya 25% dari konsumsi tahunan Uni Eropa untuk daur ulang
- tidak lebih dari 65% konsumsi tahunan Uni Eropa dari satu negara ketiga
Dwiki kemudian menyampaikan kekhawatiran terkait UN CETM Panel dan EU CRMA serta potensi resiko yang dapat mengikutinya. Menurutnya 3 hal perlu digarisbawahi. Pertama, dalam konteks EU CRMA, bagaimana Uni Eropa membingkai kemitraan strategis dan free trade agreement (FTA) sebagai win-win solutions. Menurutnya kemitraan strategis dan mekanisme FTA, seperti yang tengah dinegosiasikan Uni Eropa dengan Indonesia, menjaga hubungan dinamika hubungan asimetris antara negara utara dan negara selatan. Dwiki menggunakan kasus FTA di Chile dan Mexico sebagai paralel dengan apa yang akan dihadapi oleh Indonesia dimana kedua negara tersebut menurutnya kehilangan sebagian otonominya dalam kebijakan impor-ekspor mereka.
Kedua, Dwiki menekankan terkait definisi nilai tambah yang kurang jelas. Menurutnya perlu kejelasan dalam mendefinisikan apa yang dimaksud nilai tambah. Menurutnya perlu pula memperhitungkan dampak terhadap masyarakat dan lingkungan dalam kalkulasi nilai tambah tersebut. Ia juga kemudian menekankan terhadap bagaimana nilai tersebut dapat dinikmati oleh masyarakat lokal.
Yang terakhir, ialah bagaimana isu overkonsumsi tidak dibahas secara ekstensif dalam kedua dokumen UN CETM Panel dan juga EU CRMA. Hal ini tercermin pada tingkat konsumsi mineral logam Uni Eropa yang mencapai 25-33% dari produksi global sementara jumlah populasi mereka hanya berkisar 6%. Menurut Dwiki, absennya over konsumsi dalam bahasan kedua dokumen melanggengkan strategi ekstraktif negara-negara utara yang menjadi akar dari eksploitasi sumber daya di negara-negara selatan.
Dalam sesi diskusi, pertanyaan yang ditanyakan para peserta mencakup banyak isu. Misalnya, pertanyaan reflektif terkait bagaimana cerminan terhadap hubungan antara pembangunan modern dan nilai-nilai tradisional agar dapat berjalan secara beriringan. Dalam hal ini penekanan terhadap common care dan praktik-praktik komunal yang lekat di masyarakat tradisional menjadi hal penting guna menjaga menancapnya cengkraman kapital di masyarakat.
PKF kali ini menyoroti isu-isu penting terkait mineral kritis dan regulasi internasional, khususnya yang melibatkan UN CETM Panel dan EU CRMA. Pemaparan Dwiki memberikan wawasan mendalam mengenai dinamika global dalam transisi energi yang semakin bergantung pada pasokan mineral kritis, serta potensi risiko yang menyertainya, seperti ketergantungan terhadap negara produsen, ketidakjelasan definisi nilai tambah, dan ketidakhadiran pembahasan mengenai over-konsumsi. Diskusi ini menyoroti pentingnya pendekatan yang lebih inklusif dan berkeadilan dalam merumuskan kebijakan global terkait sumber daya alam, dengan mempertimbangkan dampak terhadap masyarakat lokal, lingkungan, dan keseimbangan hubungan internasional yang lebih setara. (DM/AN)