JAKARTA, KOMPAS – Wadah organisasi masyarakat sipil negara-negara G20 atau C20 turut mengawal pertemuan negara-negara G20 untuk memastikan isu-isu masyarakat sipil atau akar rumput diperhatikan. Mereka berjuang agar kebijakan yang dibuat negara-negara G20 dapat dirasakan masyarakat sipil.
C20 berjuang dalam kelompok kerja dengan bidang akses vaksin dan kesehatan global; keadilan jender dan disabilitas; pajak dan keuangan berkelanjutan; lingkungan, keadilan iklim, dan transisi energi; SDGs dan kemanusiaan; digitalisasi pendidikan, dan ruang sipil; serta antikorupsi.
Steering Committee C20 Indonesia Binny Buchori di acara konferensi pers bertajuk ”Keeping Tabs on G20 Progress: Are We on the Track?” di Jakarta, Kamis (30/6/2022), memaparkan pengawalan C20 untuk memastikan isu-isu akar rumput di dunia, termasuk Indonesia, tersuarakan dalam pertemuan negara-negara G20. C20 ingin memastikan tema-tema seperti antikorupsi, kemanusiaan, kesetaraan jender dan disabilitas, keuangan berkelanjutan dan pajak, keadilan dan transisi energi, akses vaksin dan kesehatan, hingga ruang sipil mendapat perhatian serius dan menjadi kebijakan dari pimpinan G20.
Menurut Binny, C20 penting untuk terlibat aktif di G20 sebagai bagian dari masyarakat demokratis. Pemerintah harus membuka ruang partisipasi dan transparansi, serta bersama-sama menggulirkan kebijakan yang bermanfaat bagi masyarakat banyak.
”Kebijakan biasanya dibikin seolah-olah penerima kebijakan tidak memiliki jender atau kelas. Kebijakan juga suka dibuat satu untuk semua. Nah, C20 sebagai masyarakat sipil memastikan dan memonitor (agar) ada kebijakan dan implementasinya,” kata Binny.
Masyarakat sipil juga mendesak agar perang Rusia-Ukraina yang memberi dampak pada berbagai aspek kehidupan global bisa diatasi. Dampaknya bukan hanya tentang energi dan inflasi yang meningkat, melainkan juga pada masalah ketahanan pangan.
Dunia saat ini sudah mengalami krisis global dalam energi dan pangan. Ada 20 juta orang di dunia yang sangat miskin dan 82,4 juta yang terpaksa mengungsi. Selain itu, ada juga sebanyak 160 juta orang yang mengalami krisis pangan akut.
”Apakah putaran dari pertemuan G20 itu sudah fokus untuk mengatasi masalah ini dan kebijakan dari pimpinan G20 bisa langsung dirasakan masyarakat akar rumput. Kami sebagai masyarakat sipil dengan cara apa pun berupaya untuk terlibat aktif. Kami akan terus menggedor supaya pintu untuk ruang diskusi dengan pemerintah lebih dalam agar tujuan yang diperjuangkan masyarakat sipil yang juga jadi masalah global bisa dibahas bersama,” papar Binny.
Mewujudkan keadilan
Lisa Wijayani yang mewakili Environment, Climate Justice, Energy Transition Working Group (ECEWG) mengatakan, pengawalan juga dilakukan dalam rangka mewujudkan keadilan yang terkait jender, kelompok marjinal, dan masyarakat adat. Sebagai contoh tentang teknologi hijau yang biasanya dengan teknologi tinggi dan dikuasai negara maju, perlu diperhatikan juga bagaimana keuangan dan kapasitas dari negara berkembang untuk mengadopsinya.
Masalah keadilan dalam isu perubahan iklim ataupun transisi energi juga harus memperhatikan berbagai aspek di luar ekonomi. Pemanfaatan energi geotermal, misalnya, akan ada pembabatan hutan, artinya nanti ada masalah lahan dan masalah sosial pada masyarakat sekitar.
”Diskusi pemerintah lebih pada regulasi dan kebijakan. Belum melihat dampak secara luas,” kata Lisa.
Sejumlah isu yang belum menjadi perhatian seperti perlindungan terhadap kelautan, biodiversity, dan manajemen sampah maupun sampah plastik, yang dinilai masalah krusial, juga perlu diangkat. Negara berkembang mendukung untuk perhatian pada masalah manajemen sampah.
Sementara itu, Syamsul Ardiansyah, Koordinator SDGs and Humanitarian Working Group, menyebutkan ada isu prioritas yang diperjuangkan ialah mendorong G20 meningkatkan investasi untuk ketangguhan dan pendanaan kemanusiaan. Kebutuhan dana kemanusiaan tinggi sebesar 41 miliar dollar AS untuk kebutuhan 183 juta jiwa masyarakat dunia dari kebutuhan 274 juta jiwa yang membutuhkan. Dana kemanusiaan ini belum termasuk untuk Ukraina.
Selain itu, G20 juga perlu mendorong pengurangan biaya remitansi dari pekerja migran secara global. Harus ada komitmen tegas supaya biaya remitansi bisa di bawah tiga persen agar memberi manfaat pada keluarga bagi pekerja migran.
Selanjutnya, diperlukan pula proteksi sosial bagi para pekerja migran di negara tempat bekerja. Perlindungan sosial juga dibutuhkan untuk mengatasi dampak perubahan iklim, bencana alam, dan lainnya agar dapat mengakses secara layak pada pelayanan dasar.
”Kebutuhan dana kemanusiaan besar, tetapi bantuan dari negara maju juga turun sehingga tidak terpenuhi. Banyak yang migrasi dan jadi pengungsi,” kata Syamsul.
Terkait krisis Ukraina, dari data Perserikatan Bangsa-Bangsa, ada kebutuhan 2,25 miliar dollar AS. Tetapi, problem kemanusiaan tidak berhenti di Ukraina. Kedua negara Rusia dan Ukraina merupakan pemasok sekitar 30 persen gandum dunia.
Dampak pada dunia dunia bukan hanya inflasi dan kenaikan harga energi yang tinggi. Negara Afrika kini menghadapi kelaparan (famine). Negara ini bergantung pada bantuan pangan dari luar negara, tapi harga pangan meningkat.
Lutfiyah Hanim dari Taxation and Sustainable Finance Working Group (TSFWG) mengatakan, pembahasan untuk pembatalan, keringanan, dan restrukturisasi utang juga harus diperjuangkan bagi kepentingan masyarakat sipil. Pembangunan di negara-negara berkembang dan miskin masih bisa terbuka dengan kebijakan terkait restrukturisasi utang.
Mike Verawati, Koordinator Gender Equality and Disability Working Group, menambahkan, kebijakan G20 bukan hanya untuk ekonomi makro. Kerangka keadilan jender dan disabilitas juga harus menjadi perspektif untuk keadilan ekonomi yang inklusif.
”Presidensi G20 Indonesia jadi kesempatan agar kesetaraan jender dan disabilitas jadi perspektif juga dalam kebijakan untuk mewujudkan inklusi. Isu kekerasan berbasis jender juga masih perlu diperhatikan,”kata Mike.
Terkait kesehatan, Agung Prakoso dari Vaccine Access and Global Health (VAGH WG) menilai akses pada vaksin jadi masalah yang perlu dibahas dan disepakati. Selain itu, kesehatan global juga perlu terus diperjuangkan.
Sementara itu, Dadang Trisasongko mewakili Anti-Corruption melihat level keterlibatan untuk memperjuangkan masalah korupsi masih harus ditingkatkan dalam pertemuan berikutnya. Apalagi sekitar 47 persen dari negara G20 memiliki indeks persepsi korupsi di bawah 50.
Sumber: Kompas