Jakarta-Sebagai negara pelaksana inisiatif Extractive Industries Transparency Ianitiatives (EITI)[1] yang telah dinyatakan sebagai negara berstatus “Compliant Country” dalam Rapat Dewan Internasional EITI ke-28 pada Rabu, 15 Oktober 2014 di Naypyitaw, Myanmar. Sejak 1 September 2018 hingga akhir tahun ini, menjalani proses validasi, yang menentukan sejauh mana komitmen Indonesia dalam mendorong transparansi dan akuntabilitas di sektor ekstraktif, khususnya migas dan tambang.

Proses validasi[2] dilakukan untuk memberikan penilaian kemajuan pelaksanaan EITI Indonesia, apakah sudah mematuhi ketentuan yang disyaratkan dalam EITI Standard 2016?[3] Sejauh mana EITI memberikan dampak terhadap perbaikan tata kelola industri ekstraktif di Indonesia? Serta pembelajaran apa saja yang didapatkan dan dapat di-belajar-kan kembali di level global. Hasil validasi ini juga akan menentukan status Indonesia, apakah masuk dalam kategori memuaskan (Satisfactory); kemajuan yang berarti (Meaningful Progress); kemajuan yang tidak memadai (Inadequate Progress); atau tidak ada kemajuan sama sekali (No Progress).

Maryati Abdullah, Koordinator Nasional Publish What You Pay (PWYP) Indonesia mengingatkan bahwa momentum pelaksanaan validasi EITI ini bukan sekedar seremonial mengejar status Indonesia sebagai negara yang berkategori memuaskan (Satisfactory).

“Proses Validasi EITI justru menjadi momentum bagi seluruh pemangku kepentingan di sektor ekstraktif untuk melakukan refleksi apakah sudah ada perbaikan tata kelola di industri ekstraktif. Lebih jauh, apakah industri ekstraktif di Indonesia berkontribusi terhadap pencapaian kesejahteraan masyarakat atau sebaliknya justru menjadi kutukan bagi Indonesia?”

PWYP Indonesia memandang, sejak ditetapkannya Indonesia sebagai negara kandidat pelaksana EITI pada 19 Oktober 2010 yang ditandai dengan terbitnya dasar hukum pelaksanaan EITI melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 26 tahun 2010 tentang Transparansi Pendapatan Negara dan Pendapatan Daerah Yang Diperoleh Dari Industri Ekstraktif, telah terjadi transformasi tata kelola sektor ekstraktif menuju ke arah yang lebih baik. Inisiatif EITI menjadi “trigger mechanism” bagi munculnya berbagai inisiatif-inisiatif reformasi perbaikan tata kelola di sektor ini.

Indonesia telah mempublikasikan 5 (lima) laporan EITI, yang meliputi Laporan EITI TA 2009, TA 2010-2011, TA 2012-2013, TA 2014 dan TA 2015. Laporan EITI berisi informasi rekonsiliasi atas pembayaran perusahaan dan penerimaan negara, baik pajak dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari kedua sektor migas dan minerba. Sedangkan laporan kontekstual, mengungkapkan ruang lingkup industri ekstraktif; kerangka hukum industri ekstraktif, kebijakan perpajakan, tugas dan fungsi instansi pemerintah yang terkait dalam industri ekstraktif; proses perizinan dan kontrak pertambangan migas dan minerba; kontribusi industri ekstraktif terhadap perekonomian; Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang bergerak dalam industri ekstraktif; tanggung jawab lingkungan hidup dan tanggung jawab sosial (Corporate Social Responsibility); manajemen penerimaan negara; dan rekomendasi perbaikan transparansi dan tata kelola di industri ekstraktif.

Menilik laporan EITI Indonesia yang pertama kali diterbitkan pada tahun 2013 untuk periode Tahun Anggaran (TA) 2009[4], masih ditemukan problem pengelolaan data Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara (Minerba) Kementerian ESDM. Misalnya, temuan awal EITI menunjukkan angka perbedaan royalti batu bara antara yang dibayarkan perusahaan dan yang diterima di kas negara sebesar US$ 727 juta. Namun, setelah dilakukan rekonsiliasi (mekanisme EITI) dengan memeriksa catatan fisik di Ditjen Minerba angka perbedaan menjadi jauh lebih kecil yaitu sebesar US$ 54 juta.

Dalam perjalanannya, telah banyak upaya yang telah dilakukan oleh Ditjen Minerba untuk menindaklanjuti temuan dan rekomendasi laporan EITI untuk memperbaiki problem tata kelola sektor minerba. Sebut saja, dibentuknya Direktorat Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) untuk memperbaiki data dan pengelolaan PNBP; dikembangkannya platform E-PNBP yang terintegrasi dengan SIMPONI-nya Kementerian Keuangan; dikembangkannya platform Minerba One Data Indonesia (MODI) dan Minerba Online Monitoring System (MOMS); maupun Minerba One Maps Indonesia (MoMI) yang di-scale up menjadi ESDM Geoportal. Ditjen Minerba ESDM bersama dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sejak tahun 2014 juga terus membenahi sektor ini melalui Koordinasi dan Supervisi (Korsup) Minerba dalam kerangka Gerakan Nasional Penyelamatan Sumberdaya Alam (GNPSDA).

Sektor migas juga tidak ketinggalan untuk melakukan berbagai pembenahan. Sejak 2015, Pemerintah memanfatkan metode lelang elektronik dalam proses lelang penawaran wilayah kerja (WK) Migas.

Pada 2016, dibangun sistem monitoring produksi minyak bumi berbasis online real time pada fasilitas produksi kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi dengan dasar hukum Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 39 Tahun 2016. Di tahun 2018 ini, dikembangkan sistem perizinan dan pelaporan online untuk mempercepat dan mempermudah, serta meningkatkan kualitas pelayanan penerbitan Izin Usaha Kegiatan Hilir Migas. Selain itu, akses data bagi peserta lelang WK Migas kini sudah digratiskan, meskipun bagi pemenang lelang, biaya akses data tetap diberlakukan.

“Tentu saja kami memberikan apresiasi terhadap upaya-upaya perbaikan yang dilakukan oleh Kementerian ESDM sejauh ini. Salah satu indator misalnya, Laporan Indeks Tata Kelola Sumber Daya 2017 yang dirilis oleh Natural Resource Governance Institute (NRGI) menempatkan tata kelola tambang Indonesia pada peringkat 11 dari 89 penilaian tingkat negara dengan skor 68 dari 100, dengan kategori memuaskan” ungkap Maryati.

EITI sebagai sebuah inisiatif multistakeholder groups (MSG) yang beranggotakan perwakilan pemerintah, pelaku usaha dan masyarakat sipil, mendorong terjadinya kolaborasi dan co-action antar pemangku kepentingan dalam melakukan perbaikan tata kelola sektor ekstraktif.

Maryati berharap model-model co-creation antar pemangku kepentingan seperti ini, bisa diterapkan ke dalam sejumlah inisiatif seperti Open Government Partnership (OGP), Sustainable Development Goals (SDG’s) maupun pelaksanaan Aksi Pencegahan Korupsi (PK) sebagai mandat dari Perpres Nomor 54 Tahun 2018 tentang Tentang Strategi Nasional Pencegahan Korupsi.

Prakarsa EITI juga sejalan sekaligus melengkapi upaya pengungkapan informasi Beneficial Ownership (BO) di Indonesia. Standar EITI mewajibkan perusahaan tambang pelapor EITI untuk membuka data BO-nya per 1 Januari 2020. Untuk menuju pembukaan data BO di sektor ekstraktif, disusunlah peta jalan pengungkapan BO sektor Ekstraktif[5]. Dan di awal tahun 2018 ini, telah diterbitkan Perpres Nomor 13 tahun 2018 tentang Prinsip Mengenali Pemilik Manfaat dari Korporasi dalam Rangka Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dan Tindak Pidana Terorisme, yang mewajibkan setiap korporasi (seperti perseroan terbatas, yayasan, perkumpulan, koperasi, persekutuan komanditer, persekutuan firma, dan bentuk korporasi lainnya) untuk menetapkan, melaporkan, dan melakukan pembaharuan ‘Pemilik Manfaat’ dari korporasi.

Di tahun 2018 ini pula, Indonesia menjadi negara piloting pertama yang menerbitkan laporan transparansi commodity trading, khususnya untuk perdagangan minyak bumi. Merujuk pada standar EITI 2016 yang mewajibkan transparansi pendapatan pemerintah, termasuk penerimaan BUMN dari in kind material termasuk pembukaan jumlah volume yang dijual dan pendapatan yang diterima. Laporan Commodity Trading Indonesia6 sendiri merupakan serangkaian 1.909 catatan transaksi yang disediakan SKK Migas, dengan nilai transaksi yang tercatat meliputi pengiriman 115 juta barel minyak mentah dan kondensat sebesar $ 4,74 miliar.

Aryanto Nugroho, Manajer Advokasi dan Pengembangan Program, PWYP Indonesia memberikan sejumlah catatan lain. “Inisiatif-inisiatif perbaikan tata kelola industri ekstraktif yang banyak dikembangkan oleh Pemerintah (Misal: E-PNBP, SIMPONI, MOMS), secara umum memberikan batasan kepada publik untuk mengaksesnya. Padahal transparansi yang diinginkan melalui EITI adalah transparansi kepada publik, bukan hanya untuk pemerintah dan pelaku usaha saja. Selain itu, data-data yang ada dalam berbagai platform yang dikembangkan (Misal: MODI, ESDM Geoportal) tidak up to date.”

“Dalam konteks EITI, masih ditemukan banyaknya perusahaan non operator migas dan perusahan minerba yang tidak lapor EITI dengan berbagai alasan. Dan bagi perusahaan yang tidak melapor tersebut tidak dikenai sanksi apa pun.”

“Kami melihat perbaikan-perbaikan tata kelola sektor ekstraktif masih belum menyentuh aspek pengawasan dan penegakan hukum. Termasuk belum fokus terhadap upaya membangun mekanisme penanganan pengaduan bagi publik.” Jelas Aryanto yang juga Wakil Masyarakat Sipil Dalam Tim Pelaksana EITI Indonesia.

Narahubung:

Aryanto Nugroho (aryanto@pwyp-indonesia.org)
Maryati Abdullah (maryati@pwyp-indonesia.org)


[1] Tentang EITI Indonesia Dapat Dibaca Melalui Link Berikut: http://eiti.ekon.go.id

[2] Tentang Proses Validasi EITI Dapat Dibaca Melalui Link Berikut: https://eiti.org/validation

[3] Tentang EITI Standard 2016 Dapat Dibaca Melalui Link Berikut: https://eiti.org/document/standard

[4] Laporan EITI TA 2009 Dapat Dibaca Melalui Link Berikut : http://eiti.ekon.go.id/laporan-eiti-indonesiatahun-2009/

[5] Peta Jalan Pengungkapan BO Sektor Ekstraktif Dapat Dibaca Melalui Link Berikut : http://eiti.ekon.go.id/petajalan-transparansi-beneficial-ownership-industri-ekstraktif/


Bagikan