*Tulisan ini merupakan pandangan pribadi penulis
Dimuat di Koran Kontan, Selasa, 25 Agustus 2015
Selama tahun 2015, harga minyak mentah dan gas dunia serta komoditi tambang rontok, mencapai titik terendah dalam lima tahun terakhir. Harga minyak mentah jenis Brent Crude mencapai USD. 46,96/barel, WTI Crude Oil mencapai USD. 40,62/barel, harga gas alam mencapai USD. 2,71/mmBTU, dan harga batubara mencapai USD. 42,88/st. Penjelasan pada sisi permintaan, menunjukan bahwa terjadi penurunan permintaan akibat dari perlambatan perekonomian global sepanjang tahun 2015.
Bagi Indonesia, dampak dari penurunan harga Minyak dan Gas (Migas) dan tambang menjadi sinyal bagi kinerja perekonomian. Selain berdampak kepada kinerja ekspor karena ekspor Indonesia masih dominan dari Migas, Mineral dan Batubara (Minerba), efek penurunan harga tersebut juga berdampak kepada kebijakan fiskal pemerintah. Beberapa asumsi makro ekonomi dibangun dari kinerja lifting Migas dan harga minyak mentah (ICP). Dari aspek penerimaan, sumbangan Migas dan Minerba terhadap penerimaan Negara baik penerimaan pajak maupun Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) juga masih besar.
Tidak dapat dipungkiri bahwa Indonesia saat ini menghadapi situasi sulit sebagai dampak dari melemahnya perekonomian global. Rencana penurunan suku bunga dari The Fed Fund Rate, penurunan harga minyak yang mencapai titik terendah, serta melemahnya mata uang rupiah, menjadikan beban fiskal Pemerintah menjadi semakin berat. Situasi tersebut secara ekonomi didukung oleh melemahnya kinerja investasi di sektor migas dan tambang, serta kinerja produksi migas yang juga cukup berat untuk dicapai oleh sumur sumur minyak di dalam negeri saat ini.
Jika menilik kembali pada situasi fiskal kita saat ini, ketergantungan penerimaan negara pada sektor migas dan tambang juga masih tinggi. Dalam APBN-P 2015, sekitar 59,78% dari PNBP masih mengandalkan migas dan tambang. Sedangkan penerimaan pajak, kontribusi PPh Migas mencapai 7,82% dan kontribusi PPh badan sektor pertambangan mencapai 10,57%. Sehingga, kurang kondusifnya kinerja dan situasi ekonomi global dari kedua sektor ini, akan berpengaruh terhadap realisasi penerimaan negara. Situasi tersebut sudah sangat terasa di tahun 2015 ini.
Realisasi penerimaan PPh Migas pada semester I/2015 hanya sebesar Rp. 31,3 triliyun, turun sebesar 39,5% dibandingkan semester yang sama tahun 2014. Pemerintah juga menurunkan target PNBP dari Migas dan pertambangan umum tahun 2015 dari Rp. 238,25 triliyun menjadi Rp. 113.03 triliyun. Situasi tersebut tentunya menimbulkan dampak bagi ketahanan fiskal kita, yang diindikasikan dengan semakin sempitnya ruang fiskal Pemerintah.
Jika dilihat dalam RAPBN 2016, pemerintah menetapkan target PPh Migas sebesar Rp.48,46 triliyun dan PNBP Migas dan Minerba sebesar Rp. 125,63 triliyun. Pemerintah harus dapat memastikan bahwa target penerimaan ini bisa di capai pada tahun 2016.
Sementara di sisi lain, masih belum baiknya tata kelola sektor Migas dan Minerba juga berdampak terhadap kinerja pembangunan dan penerimaan Negara. Masih ada sekitar 6 juta hektar lahan pertambangan yang berada di kawasan hutan konservasi dan lindung-yang notabene akan mengganggu stabilitas lingkungan hidup. Dan sekitar 6.042 IUP yang non CnC baik dari sisi administrasi, peruntukan lahan (yang menyebabkan tumpang tindih), kewajiban pembayaran royalty dan iuran tetap.
Dari data hasil Koordinasi dan Supervisi KPK dengan Kementerian ESDM dan instansi terkait, dari 7.834 perusahaan yang di data oleh DJP, sebesar 24% tidak memiliki NPWP, serta ada sekitar 35% yang tidak melaporkan SPT. Data-data di atas menunjukkan bahwa, masih ada persoalan dalam tata ruang dan peruntuhan lahan/hutan dalam sistem perijinan tambang, serta masih adanya persoalan ketidakpatuhan perusahaan dalam melakukan pembayaran penerimaan negara/pajak.
Solusi bagi Pemerintah
Beberapa catatan agar capaian pembangunan sektor Migas dan Minerba bisa tercapai untuk mewujudkan ketahanan fiskal. Pertama, mengambil langkah-langkah strategis untuk memitigasi dampak penurunan harga minyak internasional dan depresiasi Rupiah terhadap Dollar Amerika Serikat terhadap pembangunan sektor Migas dan Minerba. Hal ini penting untuk memetakan persoalan – persoalan agar target yang ingin dicapai pemerintah bisa terealisasi serta stabilitas fiskal dapat terjaga.
Kedua, pengembangan strategi diversifikasi ekonomi yang tidak bergantung pada komoditas sektor sumber daya alam; program hilirisasi baik di sektor pertambangan dan migas harus dilakukan secara konsisten, ketat dan terintegrasi dengan menyediakan faktor-faktor pendukungnya seperti kebutuhan listrik dan lainnya. Ini perlu dukungan bersama dari swasta dan pemerintah.
Ketiga, menguatkan transparansi dan akuntabilitas tata kelola sektor migas dan pertambangan, termasuk untuk mendorong kepatuhan perusahaan dalam membayar penerimaan negara dan pajak untuk menghindari kebocoran, dan menghindari asimetri informasi dengan masyarakat dengan tetap memperhatikan perlindungan lingkungan, agar tidak menimbulkan konflik sosial bencana lingkungan hidup.
Keempat, segera melakukan penataan kelembagaan dan regulasi yang memberikan kepastian hukum, bukan hanya bagi pelaku industri, melainkan juga hukum yang melindungi hak-hak masyarakat.