*Tulisan ini merupakan pandangan pribadi penulis

Malaysia bergolak, Aksi Bersih 4.0 yang melibatkan berbagai komponen masyarakat sipil Malaysia melakukan unjuk rasa besar – besaran di jantung Kota Kuala Lumpur selama dua hari (29 dan 30 Agustus 2015). Gerakan ini digalang oleh delapan puluh empat Organisasi Masyarakat Sipil yang di ketuai oleh Maria Chin Abdullah, aktivis perempuan prodemokrasi yang sudah malang melintang dalam gerakan sosial di Malaysia.

Aksi Bersih 4.0 berdampak luas bagi Malaysia. Tidak hanya menganggu stabilitas politik, sosial dan keamanan tapi berdampak juga terhadap stabilitas ekonomi Malaysia. Dampak ekonomi sangat besar, karena berbarengan dengan perekonomian global dan domestik Malaysia yang mengalami pelemahan sepanjang tahun 2015.

Nilai tukar Ringgit Malaysia (RM) terhadap Dollar Amerika Serikat (AS) sudah mencapai RM. 4,2318/USD. Kondisi ini terparah sejak krisis ekonomi tahun 1997-1998. Selama, tahun 2015, Ringgit Malaysia sudah terdepresiasi sebesar 31% terhadap Dollar AS. Dan, dalam satu minggu terakhir depresiasi Ringgit Malaysia terhadap Dollar AS sudah mencapai 8%. Indeks harga saham di Kuala Lumpur Stock Exchange (KLSE) sudah turun mencapai 18% sepanjang tahun 2015.

Prediksi pertumbuhan ekonomi tahun 2015 hanya sebesar 4,9%, terendah dalam lima tahun terakhir dan inflasi melonjok mencapai 3,5%. Alarm peringatan berbunyi. Risiko terjadi gejolak ekonomi yang lebih besar berada di depan mata. Krisis yang terjadi di Malaysia, tentu saja berdampak terhadap kawasan ASEAN termasuk Indonesia. Berkaca dari krisis ekonomi tahun 1997-1998, krisis yang melanda Indonesia berawal dari faktor regional yaitu Thailand dan Malaysia.

Nilai tukar kedua Negara terjun bebas terhadap Dollar AS, sehingga menyebabkan pelarian modal keluar (capital outflow) yang besar-besaran. Thailand dan Malaysia kekurangan likuiditas dan mengalami krisis finansial.
Menghadapi krisis di Malaysia saat ini, pemerintah harus berhati – hati agar kejadian di tahun 1997-1998 tidak terulang lagi. Berbeda dengan kondisi 1997-1998, kekuatan perekonomian Indonesia lebih kuat dan stabilitas sosial – politik cukup terkendali dengan baik. Tapi, ada beberapa risiko yang harus diperhatikan khusus oleh pemerintah terkait dengan krisis yang terjadi di Malaysia.

Pertama, bila krisis di Malaysia berlarut, yang akan berdampak pada krisis ekonomi dalam jangka menengah, maka ini akan berdampak pada kinerja perekonomian Indonesia terutama kinerja di sektor perkebunan dan industri pengolahan kelapa sawit. Sekitar 25-30% dari total perkebunan kelapa sawit di Indonesia dikuasai oleh perusahaan Malaysia seperti Sime Darby Group, Kuala Lumpur Kepong, Tabung Haji, Felda Group dan Guthrie Group. Perusahaan – perusahaan Malaysia juga memiliki industri pengolahan kelapa sawit (mills) dan industri turunan (downstream industry) yang terintgrasi di Indonesia.

Dampak ke sektor perkebunan
Tekanan ekonomi di Malaysia tentu mempengaruhi kinerja perusahaan tersebut. Sehingga, rasionalisasi aktifitas bisnis akan dilakukan. Salah satu yang akan dilakukan adalah menutup unit bisnis mereka di Indonesia atau menggurangi aktifitas bisnis. Ini tentu berdampak besar terhadap kinerja sektor kelapa sawit di Indonesia. Padahal, sektor kelapa sawit baik perkebunan maupun industri pengolahan merupakan sektor yang berkontribusi besar terhadap perekonomian Indonesia. Akan ada risiko Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal oleh perusahaan kelapa sawit Malaysia. Kinerja ekspor juga akan terganggu karena sebagian besar ekspor Indonesia di topang oleh komoditi kelapa sawit.

Kedua, Malaysia merupakan investor nomor tiga terbesar di Indonesia. Nilai investasi Malaysia di Indonesia sepanjang tahun 2014 mencapai USD. 1,77 milyar, hanya kalah dari Jepang, dan Singapura. Selain di sektor kelapa sawit, Malaysia juga memiliki investasi di sektor keuangan, sektor infrastruktur, sektor energi, sektor otomotif, sektor pertambangan, sektor properti dan sektor pariwisata di Indonesia. Jika krisis ekonomi terus berlangsung dan semakin parah di Malaysia maka ini akan berdampak pada realisasi investasi.

Ketiga, banyak Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang bekerja di Malaysia. Saat ini, ada sekitar 2,5 juta TKI bekerja di Malaysia. Jika, krisis ekonomi melanda maka akan berdampak terhadap para TKI. Mereka berisiko besar di PHK. Para TKI akan kembali pulang ke Indonesia. Ini akan menekan pasar kerja di Indonesia. Dan juga berdampak pada pengurangan devisa Negara dari remitansi para TKI di Malaysia yang mencapai USD. 1,3 – USD. 1,5 milyar pertahun.
Tiga aspek diatas, tentu akan menimbulkan trickle-down effect bagi perekonomian Indonesia. Pemerintah harus melakukan mitigasi dampak krisis di Malaysia terhadap perkembangan perekonomian di Indonesia.

Pertama, mengantisipasi dampak penurunan kinerja perusahaan kelapa sawit Malaysia yang beroperasi di Indonesia. Pemerintah perlu melakukan kebijakan insentif fiskal seperti tax allowance atau tax holiday agar tekanan krisis terhadap perusahaan kelapa sawit Malaysia di Indonesia tidak berat memukul kinerja perusahaan. Tapi kebijakan ini perlu syarat khusus seperti: perusahaan harus memiliki unit produksi di sektor hilir kelapa sawit (downstream industry), memiliki komitmen mengembangkan energi terbarukan (renewable energy) berbasis kelapa sawit seperti biofuel, memiliki sertifikat Roundtable Sustainable Palm Oil (RSPO) atau Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) dan selama ini patuh dalam pembayaran pajak perusahaan.

Kedua, mengantisipasi terjadinya penarikan atau penundaan investasi yang dilakukan oleh investor Malaysia. Pemerintah perlu menjalin komunikasi intensif untuk memastikan sejauhmana dampak krisis Malaysia menyebabkan penarikan atau penundaan investasi. Tahun 2015, beberapa komitmen investasi Malaysia di sektor pembangunan infrastruktur cukup besar. Tapi terhambat kendala pembebasan lahan dan perizinan. Pemerintah perlu mempercepat perbaikan kebijakan pembebasan lahan untuk infrastruktur dan perbaikan perizinan sehingga hambatan ini bisa diatasi segera. Sehingga, komitmen investasi Malaysia di sektor infrastruktur bisa segera direalisasikan.

Ketiga, mencari solusi terhadap TKI di Malaysia jika terjadi PHK besar – besaran. Pemerintah perlu mempersiapkan tim pendamping hukum bagi TKI yang mengalami permasalahan hukum terkait PHK oleh perusahaan. Memastikan bahwa proses PHK tidak merugikan TKI. Selain itu, pemerintah melalui Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Ketenagakerjaan harus memetakan potensi PHK bagi TKI di Malaysia dan melakukan koordinasi dengan pemerintah Malaysia agar dampak krisis Malaysia tidak mengancam keberadaan TKI di Malaysia. Terpenting, pemerintah perlu mempersiapkan para TKI yang di PHK untuk bisa masuk ke dalam pasar kerja di Indonesia atau mempersiapkan mereka untuk berwirausaha.