Pelibatan masyarakat belum diimplementasikan dengan baik dalam pengelolaan dampak lingkungan di sektor tambang. Hal in disampaikan Nurhidayati, Direktur Eksekutif Nasional WALHI dalam PWYP Asia Pacific Regional Meeting (7-8/8) lalu. Menurut Nurhidayati, 3 (tiga) pilar utama tata kelola lingkungan yang terdiri dari hak atas informasi, hak atas partisipasi, mekanisme ganti rugi, belum terimplementasikan dengan baik, walaupun ini sudah tercantum dalam regulasi Peraturan Pemerintah nomor 27/1999 tentang Analisis Dampak Lingkungan (pasal 33-35).
Hasil penelitian WALHI menunjukkan bahwa partisipasi masyarakat saat ini masih ada di level non-partisipatif, paling baik baru sampai tahap perwakilan/tokenism.[1] “Bahkan di sektor tambang, terjadi pelanggaran hak dasar masyarakat yaitu dalam hal penetapan area tambang,” tambah Nurhidayati.
Menanggapi pelanggaran hak dasar ini, WALHI kemudian mengajukan judicial review UU Minerba ke Mahkamah Konstitusi, dan akhirnya pasal dalam UU Minerba terkait penetapan wilayah pertambangan dari “wajib memperhatikan masyarakat” berubah menjadi “wajib melindungi, menghormati, dan memenuhi kepentingan masyarakat yang wilayahnya maupun tanah miliknya akan dimasukkan ke dalam wilayah pertambangan dan masyarakat yang akan terkena dampak.” Namun, sayangnya sampai saat ini pemerintah belum mengimplementasikan Putusan MK no 32/PUU-VIII/2010 dan belum mengeluarkan aturan khusus (PP) terkait partisipasi masyarakat dalam penetapan wilayah pertambangan.
Di sisi lain, Jalal-founder A+CSR Indonesia menyampaikan bahwa dalam implementasi CSR di Indonesia, masyarakat masih dilihat sebagai objek, bukan subjek yang dilibatkan dalam menentukan arah pembangunan. Menurutnya, perusahaan-perusahaan melihat bahwa CSR hanya sebatas donasi uang, sehingga menganggap CSR berjalan sukses jika dana CSR habis di akhir tahun. Sebagian besar malah tidak memenuhi standar ISO 26000.
“Dalam hal community development, CSR perusahaan belum berhasil mendorong kesejahteraan dan kemandirian masyarakat. Dalam banyak kasus, masyarakat menjadi semakin tergantung pada sumber daya yang disediakan oleh perusahaan,” jelas Jalal.
Dalam implementasinya, masih sedikit masyarakat yang terlibat sejak tahap perencanaan CSR. Sebagian besar hanya dilibatkan dalam kegiatan sosialisasi CSR. Bentuk pelibatan lain yang paling popular adalah pengajuan proposal dari masyarakat untuk program community development. Sayangnya, praktik ini sering kali didominasi oleh kelompok tertentu saja yang pandai menulis proposal, sehingga CSR tidak berjalan partisipatif dan inklusif.
Jalal menambahkan, masih sangat sedikit perusahaan yang menggunakan pendekatan Social Return on Investment dan Sustainable Livelihood Approach. Juga masih segelintir perusahaan yang mendapatkan kategori proper. Beberapa perusahaan batubara memang mendapat kategori proper. Namun sebetulnya, menurut Jalal, ini dikarenakan CO2 tidak masuk sebagai kategori polutan, jika CO2 dimasukkan sebagai kategori polutan, makin sedikit perusahaan yang masuk kategori proper.
[1] menggunakan sistem partisipasi masyarakat Arnstein