Indonesia menjadi satu dari delapan (8) negara anggota EITI dalam mentransparansikan commodity trading. Hal ini berkaitan dengan standar EITI 2016 yang mewajibkan transparansi pendapatan pemerintah, termasuk penerimaan BUMN dari in kind material termasuk pembukaan jumlah volume yang dijual dan pendapatan yang diterima. Laporan commodity trading Indonesia akan dikhususkan untuk sektor migas. Pernyataan tersebut disampaikan oleh Edi Tedjakusuma (03/10) saat pembukaan rapat pembahasan draft final laporan commodity trading di Gedung Kemenko Perekonomian, Jakarta.

“Acara ini ditujukan untuk menjaring masukan dari civil society organization (CSO), SKK Migas, Pertamina maupun pihak pemangku kepentingan lain terhadap inception report dari konsultan Johnny West. Apa saja aspek yang perlu ditindak lanjuti sehingga dapat tercapai hasil laporan yang optimal,” Jelas Edi.

Laporan yang disusun oleh Johnny West tersebut merekomendasikan agar data impor migas juga ditransparansikan. Menanggapi hal ini, Aryanto Nugroho, Manajer Advokasi Publish What You Pay Indonesia menyampaikan bahwa CSO sepakat dengan usulan perubahan ruang lingkup data yang dibuka dan mendorong agar rekomendasi tersebut untuk dilaksanakan.

“Pada proses diskusi penyusunan laporan sebelumnya, disepakati data yang akan dibuka hanya data ekspor, belum memasukkan data impor. Padahal, porsi ekspor minyak pemerintah sangat kecil. Oleh karena itu jika yang dinilai hanya ekspor maka laporan tidak dapat menunjukkan gambaran rill dari commodity trading. Sehingga dalam hal ini data impor menjadi penting untuk dibuka,” terangnya.

Terjadi Perdebatan pandangan antar pemangku kepentingan menanggapi persoalan ini. Perwakilan Pertamina mengungkapkan bahwa data impor tidak serta merta dapat dibuka kepada publik secara luas. “Data impor sebenarnya sudah ada. Ada di Kementerian Keuangan, Ditjen Migas, Bank Indonesia. Namun, itu hanya bisa dibuka untuk kepentingan yang bersifat terbatas seperti kepentingan pemerintah,” jelasnya. Pembukaan data pada prinsipnya harus memperhatikan aspek sensitivitas karena rentan disalahgunakan.

Pertamina dalam hal ini bersikukuh untuk menyarankan bahwa data impor tidak sebaiknya ada dalam ruang lingkup laporan. Pihak SKK Migas yang datang juga turut bersuara terkait dengan hal ini. Mereka menganggap bahwa data tersebut memang bersifat sangat confidential dan ketika dipublikasikan dapat mengarah pada terjadinya masalah pada iklim kompetisi.

Senada dengan hal ini, pihak Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan menambahkan bahwa memang persoalan mengenai data impor tidak perlu untuk buru-buru dilakukan . “Kekhawatiran tidak adanya gambaran comodity trading yang jelas karena nilai ekspor yang tidak representatif dan tidak dimasukkannya data impor dalam laporan dapat diatasi dengan jalan pembukaan data penjualan bagian pemerintah di dalam negeri yang jumlahnya besar,” terangnya.

Diskusi kemudian berlanjut dan mulai mengarah pada aspek penentuan sejauh mana data penjualan pemerintah di dalam negeri akan dilakukan. “sampai sejauh ini belum ada kesepakatan antar berbagai pemangku kepentingan terkait dengan hal ini,” ujar Aryanto dari Publish What You Pay Indonesia mengawali.

Dalam laporan yang sedang disusun dijelaskan bahwa ada perbedaan antara pandangan CSO dengan pandangan Pertamina dan SKK Migas. Pihak CSO menganggap bahwa transparansi penjualan pemerintah pada level first trade adalah penjualan antara Pertamina dengan buyer. Sedangkan, Pertamina dan SKK migas memiliki pandangan yang berbeda. Mereka menganggap bahwa first trade adalah transaksi bisnis antara SKK Migas dan Pertamina. Selanjutnya, Hubungan dengan pihak ketiga dinilai sebagai second trade.

Menanggapi hal ini, pihak CSO menyatakan tidak puas dengan level pembukaan data tersebut. Hal ini dikarenakan dengan level semacam itu gambaran commodity trading yang representatif tidak akan dicapai.
Meskipun masih ada tentangan, diskusi diakhiri dengan kesimpulan bahwa pembukaan data akan dilakukan dalam level first trade antara SKK Migas dan Pertamina. Sedangkan, level second trade hanya akan dibuka dalam aspek mekanisme dan tata kelolanya saja. (AP)


Bagikan