Jakarta – Publish What You Pay (PWYP) Indonesia, The Habibie Center, dan Article 33 Indonesia menggelar sharing session bertajuk “Menyigi Korupsi Tata Kelola Minyak Mentah dan Produk Kilang PT Pertamina” pada 18 Maret 2024 di Jakarta. Acara yang digelar secara hybrid ini menghadirkan narasumber seperti Sudirman Said, Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) 2014-2016, Alamsyah Saragih. Pengamat Kebijakan Publik/Chief of Board Article 33 Indonesia, dan Daniel Purba, Praktisi Migas dan Anggota Tim Reformasi Tata Kelola Minyak dan Gas Bumi 2014 dengan moderator R Mouna Wasef dari PWYP Indonesia.

Sharing session ini mendiskusikan dugaan kasus kasus korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang PT Pertamina yang masih terus diproses oleh Kejaksaan Agung (Kejagung) dari berbagai perspektif; hukum, politik, sosial dan bisnis, sehingga publik dapat melihat kasus tersebut dengan perspektif yang lebih luas dan komprehensif. Serta memberikan rekomendasi untuk mendorong perbaikan tata kelola migas secara menyeluruh.
Menurut Kejagung beberapa modus dalam korupsi ini, diantaranya: Pengondisian untuk melakukan impor minyak mentah maupun produk kilang melalui rapat optimasi hilir (OH), dengan penolakan minyak mentah dalam negeri; Impor minyak dengan pengondisian memenangkan Daftar Mitra Usaha Terseleksi (DMUT)/broker minyak dan terjadi mark up kontrak pengiriman minyak impor dengan tambahan fee sebesar 13-15 persen; Harga impor ditetapkan tinggi lewat persekongkolan dan minyak impor dengan RON 90 diolah di depo menjadi RON 92; Perbuatan para tersangka ini juga menyebabkan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) yang dijual ke masyarakat, sehingga pemerintah perlu memberikan kompensasi subsidi lebih tinggi melalui APBN.
Masih menurut Kejagung, korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang PT Pertamina dilakukan selama periode 2018-2023. Kerugian negara atas korupsi ini mencapai Rp 193,7 triliun..
Sharing session ini mendiskusikan sejumlah pertanyaan-pertanyaan yang muncul di publik. Di antaranya, benarkah besarnya kerugian negara sebagaimana yang telah disebutkan? Bagaimana sebenarnya rantai bisnis supply-chain dari pengelolaan minyak mentah dan produk kilang dari hulu hingga hilir? Bukankah sudah ada rekomendasi perbaikan yang merujuk pada Rekomendasi Tim Reformasi Tata Kelola Migas (TRTKM) satu dekade lalu, mengapa masih saja ada korupsi? Atau hanya sebatas mengganti mafia migas satu dengan mafia migas lainnya?
Kegiatan ini merupakan bentuk peran masyarakat sipil untuk mengawal kasus ini. Di sisi lain, pentingnya pengetahuan mengenai aspek tata kelola migas merupakan hal penting dalam upaya mengawal kasus ini, dan mendorong perbaikan tata kelola yang transparan dan akuntabel agar kasus dengan modus serupa tak terjadi kembali dan serta merugikan negara —keuangan negara dan masyarakat