“Dalam kegiatan tambang ini kita dapat mensuplai energi untuk orang lain, namun untuk mensuplai diri sendiri malah menjadi banyak kerugian yang kita peroleh.”
Ungkap Pak Ahmad Wijaya dari Yayasan Bioma saat wawancara di Kota Samarinda sebagai rangkaian penutup dari kegiatan YXA Camp 2018 (Youth Xtra Active) yang diinisiasi oleh PWYP Indonesia (Publish What You Payment) dengan tema ‘Samarinda Bergerak Beraksi Untuk Iklim, Beralih dari Energi Kotor ke Energi Terbarukan’ yang berlangsung selama tiga hari dengan menyertakan lima pemuda Kalimantan Timur dan lima pemuda luar Kalimantan Timur melalui proses seleksi nasional. Dalam kegiatan singkat tersebut Saya sebagai salah satu peserta yang berkesempatan berkunjung langsung melihat area pertambangan yang sangat dekat dengan wilayah pemukiman warga sempat dan tak perlu berjalan jauh untuk melihat megahnya area pertambangan yang saat ini dinilai kurang memperhatikan aspek-aspek lingkungan dan aspek sosial yang telah ada sebelumnya.
Kegiatan tambang terhadap luas wilayah Kota Samarinda saat ini telah mencapai angka 71%, (Jatam, 2017). Pada catatan angka ini terlihat jelas bahwa ada yang janggal dalam sistem perizinan, tata kelola dan pola penambangan hingga dengan mudahnya mengabaikan aturan dan kebijakan yang berlaku. Keuntungan yang dirasakan industri tambang dan pemerintah tidak sebanding dengan jaminan yang mereka janjikan kepada masyarakat sekitar area tambang. Pasalnya selama kegiatan tambang berlangsung, warga sekitar tambang diminta untuk ke luar rumah saat akan melakukan peledakan untuk galian tambang mereka, bahkan dalam satu hari aktivitas ‘blasting’ atau peledakan bisa dilakukan sebanyak sepuluh kali dan selama itu pula setiap warga diberikan satu minuman botol serta satu buah roti tidak lebih, serta kiriman bantuan sembako yang kurang lebih berisi kopi bubuk, teh, gula, beras, minyak dan 4 bungkus mie instant setiap bulannya dan “kalo untuk bantuan berupa uang atau jaminan pendidikan kaya beasiswa dan jaminan kesehatan ya nda ada mba kecuali kalo lagi ada acara santunan anak yatim, janda dan manula saja” menurut pengakuan salah seorang warga transmigran asal Pulau Jawa di Desa Kerta Bhuana.
Lain cerita pada desa transmigran seperti Desa Mulawarman, di mana mereka mengungkapkan bahwa bangunan rumah terakhir pada desa ini hanya tinggal menunggu waktu untuk pindah, sebab rumah yang saat ini di tempati telah dibeli oleh perusahaan tambang batubara yang mengepung desa mereka. Seolah tidak ada pilihan lain akibat merambatnya kawasan tambang di pemukiman penduduk tersebut akhirnya Mulawarman kehilangan sistem ekologi, sistem tatanan sosial & budaya, serta sulitnya mendapat air bersih karena telah tercemar oleh kegiatan pertambangan di sekitar rumah mereka seperti desa-desa yang hilang sebelumnya akibat kegiatan pertambangan pula.
Saat ini, setidaknya terdapat dua perusahaan besar tambang batu bara yang beroperasi di sekitar Desa Mulawarman, Yakni PT. Jembayan Muara Bara dan PT. Kayan Putra Utama Coal. Kedua perusahaan tersebut mulai berporduksi pada tahun 2003 dan masih berlangsung hingga kini. Kawasan hutan berbukit yang dulu mengelilingi wilayah desa transmigran itu, kini telah habis dan berubah menjadi cerukan besar karena terus-menerus digali secara masif. Bahkan ratusan hektar lahan persawahan milik warga juga sudah berlaih fungsi menjadi areal pertambangan emas hitam. Kepala Desa Mulawarman Mulyono mengungkapkan dari luas lahan pertanian baik sawah maupun ladang yang awalnya sekitar 526 Ha saat pertama kali kawasan desa transmigran itu dibuka pada 1981, kini tersisa hanya 20 Ha.
Sementara, wilayah pemukiman penduduk yang kini dihuni lebih kurang 812 kepala keluarga atau lebih kurang 3.000 jiwa luasnya 65,75 Ha. “Warga terpaksa menjual lahan sawahnya keperusahaan, karena sudah tidak produktif lagi. Sulit sekali ditanami padi seperti dulu, karena tidak ada pengairan yang cukup,” kata Mulyono di sela menerima kunjungan Gubernur Kaltim Awang Faroek Ishak di Desa Mulawarman, (Antara, 2017). “Kami tidak ingin menyalahkan siapa-siapa. Yang kami pikirkan nasib dan masa depan anak-anak Desa Mulawarman,” ujar tambahnya.
Jika memang aktivitas tambang batu bara telah berkontribusi besar terhadap; 1) Sumber devisa negara; 2) Sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD); 3) Sumber energi alternatif untuk masyarakat lokal; 4) Menampung tenaga kerja, lalu mengapa tidak sebanding dengan dampak positif yang ditimbulkannya? Seperti yang kita ketahui dampak negatif dari kegiatan pertambangan yakni bahwa; 1) Sebagian perusahaan pertambangan yang dituding tidak memperhatikan kelestarian lingkungan; 2) Penebangan hutan untuk kegiatan pertambangan; 3) Limbah kegiatan pertambangan yang mencemari lingkungan; 4) Areal bekas pertambangan yang dibiarkan menganga; 5) Membahayakan masyarakat sekitar; 6) Sengketa lahan pertambangan dengan masyarakat sekitar; 7) Kontribusi bagi masyarakat sekitar yang dirasakan masyarakat masih kurang; 8) Hubungan dan keterlibatan daerah dalam kegiatan pertambangan masih kurang, (Asis Djajadiningrat, 2003).
Untuk meminimalisir dampak negatif tersebut, maka menjadi kewajiban pemerintah untuk menegakkan hukum secara konsisten sehingga para kontraktor yang melaksanakan kegiatan penambangan batu bara dapat melaksanakan ketentuan hukum yang berlaku dalam bidang pertambangan. Dalam Pasal 30 UU No. 11/1967 tentang Pertambangan secara tegas dinyatakan sebagai berikut:
“Apabila selesai melakukan penambangan dan galian pada suatu tempat pekerjaan, pemegang kuasa pertambangan yang bersangkutan diwajibkan mengembalikan tanah sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan bahaya penyakit atau bahaya lainnya”. Namun, peraturan ini dalam kenyataannya hanya berlaku di atas kertas.
Setelah pemaparan di atas, kita sudah tidak asing lagi dengan pembahasan berbau kritik, tentu saja setiap masalah ada solusi dan apa artinya jika kita hanya bisa mengkritik tanpa memberi saran. Lalu apa yang harus kita lakukan terhadap masalah pertambangan ini?
- Kita buat para pemegang izin patuh terhadap aturan dan kebijakan yang berlaku meski hal tersebut sulit untuk dicapai, tetapi inilah kuncinya. Seperti; melengkapi administrasi, membayar dana jamrek (jaminan reklamasi), implementasi industri sesuai dengan perjanjian dan semua itu tidak boleh diabaikan karena mengabaikan salah satunya sama dengan merubah industri pertambangan menjadi ancaman pembunuhan. “Karena sudah tercatat sebanyak 28 anak mati di kolam tambang”, imbuh Direktur POKJA 30 Samarinda, Carolus Tuah saat talk show di D’orange coffee Samarinda.
- Kita harus turut mendorong agar PKP2B transparan dan terbuka.
- Mendukung pengembangan energi terbarukan untuk peralihan dari energi fosil.
- Dan masih banyak hal lainnya yang dapat kita lakukan bersama untuk menyelamatkan lingkungan dan bumi kita dari pencemaran lingkungan karena semua ini dimulai sejak hari ini dan dari diri sendiri untuk kesejahteraan jangka panjang.
Penulis: Euis Haryati