Jakarta – Publish What You Pay (PWYP) Indonesia kembali menggelar forum diskusi PWYP Knowledge Forum (PKF). Kali ini, diskusi membahas tentang Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) yang terbaru, yang dikemas dengan tema “Menilik Komitmen Transisi Energi dan Kecenderungan Solusi Palsu melalui Gas dan Batu Bara dalam RUPTL 2025-2034.” Acara ini diselenggarakan secara hybrid, di Jakarta Selatan, 13 Juni 2025.
Sebagai pemantik diskusi, Direktur Eksekutif Sustain, Tata Mustasya, menyampaikan bahwa dalam RUPTL 2025-2034 yang baru disahkan 26 Mei lalu, terdapat perubahan dari RUPTL sebelumnya. RUPTL yang terbaru ini cukup hijau berorientasi pada energi hijau dibanding dengan sebelumnya. Namun begitu, tetap saja masih bertopang pada energi fosil, meski ada penurunan berarti dari 48% dalam RUPTL 2021-2030 menjadi 24% dalam 10 tahun. “Greener, tapi tidak cukup hijau,” katanya.
Perubahan yang besar mengenai pengurangan peran energi fosil baru akan terjadi setelah periode lima tahun tersebut yakni menjadi 24%. “Perubahan yang besar direncanakan di lima tahun kedua,” tambahnya.
Tentu, hal itu menyimpan tantangan. Terutama salah satunya dalam konteks politik dan kepemimpinan pemerintahan. Perubahan pengurangan energi fosil yang direncanakan pada periodesasi kedua tersebut bisa saja mengalami hambatan signifikan pada momentum politik lima tahunan, yang dapat mengubah arah kebijakan energi, terutama RUPTL ini. “Padahal, yang banyak improve-nya pengurangan energi fosil itu di periodesasi yang kedua. Ambisinya disimpan di periodesasi kedua,” ungkapnya.
Kontradiksi Pemanfaatan Gas & Batubara dan Usulan Alternatif Kebijakan Insentif dan Disinsentif
Meskipun RUPTL terbaru terlihat ambisius dalam mengejar transisi energi. Akan tetapi, Tata melihat gas bersama batu bara masih menjadi bagian signifikan dalam bauran energi. Di mana ini dapat menghambat pencapaian target transisi energi terbarukan sekaligus pencapaian emisi global.
Tata mempertanyakan penggunaan gas dan batu bara yang masih dijadikan baseload untuk intermitensi transisi energi. Padahal seharusnya dapat menggunakan alternatif energi terbarukan seperti panas bumi atau hidro, termasuk yang skala kecil, sebagai baseload. Terkait gas, Tata mempertanyakan mengapa di periode RUPTL kedua (2029-2034), gas masih dimasukan dalam perencanaan pembangkit sebesar 2,8 GW padahal katanya telah dikurangi dari awalnya 10 menjadi 15 GW. Terlebih gas tidak ekonomis dan meningkatkan ketergantungan impor. Di mana impor tidak sejalan dengan narasi swasembada energi pemerintah.
Sementara untuk batu bara, di periode lima tahun ke-2, di tengah wacana pensiun dini PLTU, PLN masih merencanakan pembangunan PLTU baru. Padahal biaya pemensiunan saja sudah besar, dengan merencanakan pembangunan baru akan menambah biaya baru, sehingga dari mana biaya untuk pensiun.
Untuk itu, terdapat sejumlah solusi yang dapat dilakukan untuk mengoptimalkan percepatan pengembangan energi terbarukan. Misalnya, bagaimana menarik Cina masuk ke Indonesia berinvestasi di sektor energi terbarukan. Kemudian mengoptimalkan pendapatan dari batu bara untuk energi terbarukan.
Menurut hitungan Sustain, kata Tata, pengembangan energi terbarukan sebenarnya memiliki potensi pembiayaan dari pungutan batu bara. “Besar sekali potensi yang kita miliki dari pungutan batu bara. Kami pernah menghitung, paling kecil kita bisa dapat Rp84 triliun per tahun dari pungutan batubara,” ungkapnya.
Yang perlu didorong dalam konteks keekonomian dan pembiayaan ini, lanjut Tata, mendisinsentifkan batu bara. Selain peningkatan pungutan produksi, bentuk disinsentif lainnya adalah pajak karbon. Penerapan pajak karbon secara bertahap diharapkan dapat mendorong pelaku usaha beralih ke sumber energi rendah emisi. Kemudian penghapusan atau pengurangan Domestic Market Obligation (DMO). Meningkatkan harga batu bara domestik agar sejalan dengan harga pasar dapat mengakibatkan persaingan pengembangan energi terbarukan menjadi kompetitif.
Kemudian mendorong diversifikasi energi ke energi terbarukan, serta memberikan insentif yang konsisten di sektor energi terbarukan. Menarik investasi pada periodesasi lima tahun pertama RUPTL untuk energi terbarukan, agar periodesasi lima tahun kedua pasar telah bekerja. Transisi energi menuju energi terbarukan juga membutuhkan kemauan dari pemerintah. Sebagai contoh, seharusnya, proyek energi yang berbasis fosil seperti gasifikasi batu bara dapat dialihkan ke pengembangan proyek energi terbarukan. Apalagi, energi terbarukan dalam jangka panjang secara fundamental dapat difasilitasi energi terbarukan.
Kembali ke disinsentif, meskipun potensi pendapatan dari disinsentif signifikan (Rp 120–150 triliun per tahun), tantangan utama adalah resistensi dari elit politik dan oligarki yang menguasai sektor batu bara. Perlu pendekatan bertahap, transparansi kebijakan, dan advokasi berbasis data untuk mengatasi hambatan, sambil memastikan transisi energi yang adil dan sejalan dengan tren global menuju energi berkelanjutan.