Jakarta, 28 November 2024 – Publish What You Pay (PWYP) Indonesia mengadakan Diskusi Terpumpun bertajuk “Mengkritisi Pembangunan Panas Bumi dalam Kerangka Transisi Energi Berkeadilan”. Kegiatan ini mengundang sejumlah perwakilan organisasi masyarakat sipil (OMS) untuk menghimpun berbagai temuan dari pembelajaran masing-masing organisasi dalam mengawal pengembangan panas bumi.
PWYP Indonesia mengundang Wishnu Try Utomo, Kepala Advokasi Tambang dan Energi, Center of Economic and Law Studies (CELIOS) untuk memaparkan temuan dari penelitian berjudul Geothermal di Indonesia: Dilema, Potensi, dan Eksploitasi atas Nama Transisi Energi. Lingkup dari penelitian yang dibahas adalah pengembangan pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) yang merupakan pemanfaatan tidak langsung panas bumi.
Dalam perkembangannya, pemerintah menggagas PLTP sebagai andalan untuk transisi energi. Hal ini didukung oleh Undang-Undang (UU) Nomor 21 Tahun 2014 tentang Panas Bumi maupun UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja serta Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) yang menargetkan bauran energi hingga 23% pada tahun 2050.
Di Indonesia terdapat 361 titik potensi panas bumi (23,7 GW) yang tersebar di seluruh kepulauan Indonesia, 64 di antaranya sudah ditetapkan sebagai Wilayah Kerja Panas Bumi (WKP), dan telah didirikan 24 PLTP dengan kapasitas terpasang sebesar 2,4 GW. Diskusi ini menyorot daerah Sumatera Utara, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Nusa Tenggara Timur (NTT) sebagai tempat-tempat pengembangan PLTP.
Meskipun terus didukung oleh pemerintah, pengembangan panas bumi mendapat reaksi penolakan dari level tapak tempat kawasan PLTP dibangun. UU Nomor 21 Tahun 2014 tentang Panas Bumi tidak mengkategorikan kegiatan ekstraksi panas bumi sebagai kegiatan pertambangan, melainkan sebagai penyediaan jasa lingkungan yang berarti dapat dilakukan di area-area konservasi tinggi. Tercatat bahwa dampak operasional PLTP mencangkup tercerabutnya ruang hidup, gempa bumi, tercemarnya sumber air, dan polusi udara.
“Penolakan warga ini jangan dinilai karena warga tidak paham dampak pengembangan panas bumi karena yang terjadi adalah sebaliknya, warga menolak karena benar-benar memahami dampak negatif terhadap kehidupan mereka”, terang Wishnu.
Hal ini menjadi semakin pelik ketika UU Cipta Kerja yang memungkinkan kriminalisasi dari penolakan warga terhadap proyek yang ditentukan oleh pemerintah pusat. Di satu sisi pengembangan PLTP berdampak sangat negatif bagi warga sekitar, di sisi lain masyarakat dibatasi untuk dapat memperjuangkan haknya.
Syifa Annisa, perwakilan Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI), turut mengkhawatirkan aspek inklusivitas dari pendekatan pemerintah dalam memperlakukan para pemangku kepentingan lokal yang paling terkena dampak.
“Pengembangan geothermal seharusnya mempertimbangkan hak-hak penyandang disabilitas, agar tidak menyulitkan atau menciptakan disabilitas baru. Sayangnya, UU No. 21/2014 tentang Panas Bumi tidak menyebutkan tentang sosialisasi hak disabilitas, padahal Indonesia telah meratifikasi Konvensi Hak-hak Penyandang Disabilitas (CRPD) yang menekankan hak penyandang disabilitas terhadap lingkungannya. Pemerintah dan perusahaan perlu mengakomodasi hak-hak disabilitas, termasuk melakukan riset terhadap lima ragam disabilitas yang ada, bukan hanya melibatkan pendamping. Pemerintah sering tidak memperhitungkan bahwa setiap orang potensi menjadi disabilitas,” tegasnya.
Rekognisi terhadap dampak-dampak yang tidak dihitung dari pengembangan PLTP di Indonesia menjadi pembahasan yang sentral dalam diskusi. Secara keekonomian sendiri terdapat fakta-fakta yang dapat menyangkal narasi utama dari keunggulan panas bumi dalam transisi energi.
CELIOS mencatat, perkebunan seperti cengkeh, kemiri, mengalami penurunan setelah tahun pertama PLTP berjalan. Terdapat potensi kerugian negara mencapai Rp1.1 triliun dan tenaga kerja terdampak sebanyak 50.608 orang. Di sisi lain, saat pembangunan telah selesai, pengoperasian PLTP hanya mempekerjakan jumlah tenaga kerja yang terbatas ketimbang sektor perkebunan di Pulau Flores, NTT.
Selain itu, PLTP dalam prakteknya sering kali membangun sumur baru (ekspansi spasial) atau harus menggunakan polymerisation inhibitor seperti polyacrylate dan polysulfone, yang dapat merusak badan air dan meningkatkan penyerapan logam berat pada makhluk hidup. Hal ini terjadi karena lambat laun sumur/reservoir akan mengalami perubahan suhu dan mengakibatkan penggumpalan silika di batuan yang dapat menyumbat sumur produksi. Hal ini menunjukkan bahwa pengembangan panas bumi juga dapat mengakibatkan ekspansi spasial dan masuknya bahan kimia berbahaya kedalam sumber air masyarakat.
Beberapa catatan masyarakat sipil kemudian semakin memperkuat pentingnya pengawasan pengembangan panas bumi mengingat prosesnya sangat beresiko terhadap keberlanjutan ekologis dan kehidupan masyarakat sekitar. Deregulasi terkait ekstraksi panas bumi di kawasan konservasi juga menimbulkan ancaman serius. Pasalnya, UU Cipta Kerja tidak mengharuskan reklamasi setelah pengeboran, yang berpotensi meningkatkan biaya lingkungan dalam pengembangan panas bumi. Dari sisi ekonomi, perlu dicatat bahwa biaya pengembangan transmisi masih belum tercakup dalam studi yang sudah dipaparkan. Termasuk biaya sosial yang juga harus diperhitungkan sebagai bagian dari analisis kelayakan proyek.
Kembali kepada asas tujuan transisi energi yang berkeadilan, energi adalah hak, bukan komoditas. Oleh karena itu, setiap proyek pengembangan energi harus tunduk pada prinsip-prinsip: penghargaan, pemenuhan, dan perlindungan hak asasi manusia; perlindungan terhadap tanah, air, dan lautan, serta wilayah kelola rakyat; perlindungan terhadap integritas dan regenerasi ekologi, serta keanekaragaman hayati, dan perlindungan risiko bencana ekologi-sosial.
Penulis: Muhammad Adzkia Farirahman