Jakarta – Publish What You Pay Indonesia (PWYP) Indonesia kembali gelar PWYP Knowledge Forum (PKF), forum diskusi dan berbagi pengetahuan yang diselenggarakan secara rutin oleh koalisi PWYP Indonesia, dengan tujuan untuk meningkatkan pemahaman dan kapasitas, serta mengembangkan diskursus publik terkait isu, topik dan kebijakan di sektor energi dan sumber daya alam. PKF kali mendiskusikan kembali urgensi moratorium izin pertambangan mineral dan batubara di Indonesia, yang berlangsung secara hybrid, pada 28 Mei 202 di bilangan Jakarta Selatan
Dipandu Ufudin dari Yayasan KoMIU Sulawesi Tengah, PKF ini menghadirkan sejumlah dengan narasumber; yaitu Direktur Tambang dan Energi Auriga Nusantara Ibrahim Zuhdhi (Fahmy) Badoh dan Dosen Hukum Pertambangan/Akademisi Universitas Mulawarman, Haris Retno Susmiyati.
Fahmy menyebut hingga November 2024, terdapat 4.634 konsesi pertambangan minerba, yang terdiri dari 4.302 Izin Usaha Pertambangan (IUP) dengan luas 9.112.732 hektare, 31 Kontrak Karya (KK) dengan luas 1.161.796 hektare, 59 Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) seluas 1.171.702 hektare, 48 Izin Pertambangan Rakyat (IPR) dengan luas 50,41 hektare dan 10 Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) seluas 255.199 hektare.
Pertambangan merupakan salah satu sektor yang kontribusi pada tingginya deforestasi. Sejak tahun 2000-2023, jumlah luas deforestasi dari tambang mencapai 750 ribu hektare. Mencakup hutan primer dan hutan sekunder. Khusus hutan primer pada rentang periode itu, sebanyak 6.500 hektare hutan primer hilang per tahun. Dan yang tertinggi pada tahun 2013—yakni menjelang pemilu, seluas 10.000 hektare.
Adapun deforestasi dari sektor tambang pada periode 2021 hingga 2023, paling banyak disebabkan sektor tambang batu bara, dengan luas 322 ribu hektare. Diikuti emas 149 ribu hektare, timah 87 ribu hektare, nikel 56 ribu hektare, bauksit 16 ribu hektare dan tambang mineral lainnya 91 ribu hektare.
Fahmy, yang juga anggota Badan Pengarah PWYP Indonesia menyebut, Indonesia sebagai salah satu negara produsen batubara terbesar di dunia yang berorientasi ekspor, menghadapi tantangan besar di tengah kondisi permintaan global yang melemah, serta harga komoditas di pasar global yang turun. Ekstraksi batubara di Indonesia terjadi sangat masif — dengan skala hampir 3 kali lipat kebutuhan batubara domestik. Ini mengakibatkan Indonesia berpotensi menghabiskan semua cadangan batu baranya 4,7 kali lebih cepat dari umur cadangan yang ada sekarang ini, sekitar 43,93 tahun.
Padahal, data bauran energi global menunjukkan, menurunnya permintaan impor batu bara dikarenakan meningkatnya ekstraksi batu bara di negara-negara importir besar dan menurunnya permintaan thermal coal untuk kebutuhan pembangkit Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batubara, yang disebabkan diversifikasi energi —energi terbarukan— dan pengurangan emisi batubara.
Selain pertimbangan lingkungan, gambaran persoalan dan situasi ekonomi tersebut di atas, seharusnya dapat menjadi pendorong dilakukannya moratorium izin. “Tren harga batubara yang cenderung turun, permintaan global yang lemah dan cadangan yang terus menipis harusnya menjadi momentum mendorong moratorium izin tambang dan ekspor,” ujar Fahmy.
Sejalan dengan urgensi moratorium, transformasi ekonomi untuk keluar dari ketergantungan penerimaan negara terhadap tambang harus diupayakan, dengan tetap mendukung transisi energi terkait perubahan iklim dan pengurangan emisi karbon. “Indonesia seharusnya menempuh langkah strategis di tengah terus turunnya harga komoditas batu bara, salah satunya dengan moratorium izin batu bara dan moratorium izin ekspor batu bara,” kata Fahmy.
Moratorium atau penghentian izin sepenuhnya?
Sementara itu, Haris Retno memiliki perspektif lain. Menurutnya, urgensi di Indonesia saat ini, bukan lagi pada moratorium izin tambang, melainkan penghentian izin. Ada sejumlah alasan mendasar, diantaranya kerusakan lingkungan akibat pertambangan. Selain itu, industri tambang merupakan sumber ekonomi tak berkelanjutan. Menggantungkan ekonomi pada pertambangan sama saja bergantung pada sumber ekonomi yang rapuh. Adanya pertambangan di suatu daerah juga tak menjamin kesejahteraan masyarakat di daerah bersangkutan.
Di Kalimantan Timur (Kaltim) misalnya, hadirnya pertambangan batu bara mengancam ketersediaan pangan. Ini disebabkan alih fungsi lahan pertanian menjadi daerah tambang. Perempuan tak luput menjadi bagian yang terdampak. Haris Retno menyebut adanya pemiskinan perempuan di wilayah tambang. Hanya 1,2 persen perempuan yang terserap di industri pertambangan. Di sisi lain, jumlah pekerja tambang di Kaltim hanya 6,7 persen dari jumlah angkatan kerja. Dampak itu tampak tak sebanding dengan dampak negatif dari lingkungan dan hilangnya lahan pertanian.
Haris Retno mencontohkan Kota Samarinda yang selalu berada dalam bayang-bayang banjir bandang, sebagai dampak masifnya pembukaan lahan untuk pertambangan batu bara di wilayah dan sekitar kawasan ibu kota provinsi tersebut. Di sisi lain, pembagian hasil tambang antara pengusaha dan pemerintah tak berimbang, serta ketaatan terhadap ketentuan pasca tambang rendah.
“Moratorium, bahkan penghentian izin sudah seharusnya dilakukan untuk keselamatan bersama. Sebagai bagian pelaksanaan konstitusi untuk pemenuhan hak sebesar-besarnya masyarakat banyak,” kata Haris Retno.
Namun bersamaan itu, dirinya menilai kemauan politik pemerintah tidak sejalan dengan agenda keselamatan rakyat. “Penguasaan negara (terhadap sumber daya alam), syaratnya adalah kemakmuran. Kalau tidak ada itu seharusnya ada evaluasi,” tegasnya.