Kebutuhan akan keterbukaan kontrak dan perizinan di industri ekstraktif kini semakin menguat, seiring dengan tuntutan publik dalam mendorong pengelolaan industri ekstraktif yang transparan dan akuntabel. Beberapa kasus telah menunjukkan preseden yang baik dalam upaya keterbukaan kontrak dan perizinan.
Namun masih banyak juga pihak yang berasumsi bahwa dokumen kontrak dan perizinan adalah dokumen rahasia yang hanya boleh diakses oleh para pihak yang menandatangani kontrak atau izin dengan alasan persaingan usaha maupun kekhawatiran penyalahgunaan informasi. Karenanya, Publish What You Pay (PWYP) Indonesia menyelenggarakan diskusi yang bertajuk Keterbukaan Dokumen Kontrak dan Perizinan di Sektor Industri Ekstraktif pada (16/1) lalu.
Hadir sebagai narasumber, Gede Narayana, Ketua Komisi Informasi (KI) Pusat, yang menerangkan bahwa Undang-undang (UU) Keterbukaan Informasi Publik (KIP) dengan jelas menyatakan bahwa surat perjanjian badan publik dengan pihak ketiga beserta dokumen pendukungnya adalah informasi terbuka. “Posisi kami jelas, kontrak di sektor industri ekstraktif dapat dibuka,” tegas Gede.
Namun Gede mengingatkan bahwa pelaksanaan UU KIP oleh badan publik masih belum optimal. 77% badan publik belum sepenuhnya melaksanakan mandat UU KIP yang mana berdasarkan kategorisasi KI masih berada pada kategori kurang dan tidak informatif. Sementara hanya 3% badan publik yang dapat dikategorisasikan informatif.
Syafei, Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) menjelaskan bahwa KESDM telah melakukan uji konsekuensi terkait kontrak minyak dan gas bumi (migas). Untuk menghindari tuduhan kelalaian oleh pihak yang berkontrak, kontrak migas dinyatakan sebagai informasi yang dikecualikan. Sementara untuk kontrak di sektor pertambangan, proses uji konsekuensi masih berlangsung.
Sementara itu, Eddy Tedjakusuma, Ketua Sekretariat Extractive Industries Transparency Initiative (EITI) Indonesia menegaskan bahwa keterbukaan kontrak di sektor industri ekstraktif telah menjadi norma global. Bahkan tidak sedikit negara yang telah mendapatkan manfaat dari keterbukaan kontrak. Salah satunya adalah Peru yang berhasil meningkatkan tarif royalti dari 5% menjadi 26%.
“Sudah banyak putusan KI yang mengamanatkan keterbukaan kontrak di industri ekstraktif. Kami telah melakukan pembahasan dengan KESDM dengan berpedoman pada putusan tersebut. Namun belum ada keputusan dari KESDM, khususnya terkait kontrak di sektor pertambangan,” tukas Eddy.
Alamsyah Saragih, Ketua Komisi Informasi Pusat periode 2009-2011 yang kini menjabat sebagai anggota OMBUDSMAN RI menegaskan bahwa prinsip informasi publik adalah semua bisa diakses kecuali informasi yang dikecualikan. Untuk menetapkan informasi yang dikecualikan, harus melalui proses uji konsekuensi atau uji kepentingan publik.
“Di sektor pertambangan, selain kontrak, ada juga izin pertambangan. Berbeda dengan kontrak, izin termasuk dokumen yang tersedia setiap saat, sehingga pada dasarnya itu terbuka. Jika jelas data yang diminta adalah data terbuka namun tidak diberikan oleh badan publik, bisa laporkan ke OMBUDSMAN RI,” jelas Alamsyah.
Sebagai penutup diskusi, Maryati Abdullah, Koordinator Nasional PWYP Indonesia menegaskan peluang implementasi keterbukaan kontrak dan perizinan di industri ekstraktif di Indonesia. “Regulasi telah memandatkan, yang diperlukan hanya kemauan dan keseriusan pemerintah untuk menjalankan regulasi tersebut,” pungkas Maryati.