Keberadaan industri ekstraktif (tambang, sawit, dan Hutan Tanaman Industri) yang tumbuh masif di Kabupaten Sanggau, khususnya Kecamatan Tayan Hilir telah menghimpit wilayah kelola masyarakat adat. Hasil analisis spasial Swandiri Institute menunjukkan penguasaan lahan industri (tambang, sawit, dan HTI) di Kecamatan Tayan Hilir melebihi luas wilayah kecamatan tersebut.
Direktur Swandiri Institute Hermawansyah saat diskusi bertema “Mencari Jalan Terang Masyarakat Adat di Tengah Industri Ekstraktif” Senin (12/10) lalu menyampaikan, dari luas Kecamatan Tayan Hilir 119.502 Ha, luas konsesi tambang, sawit, dan HTI mencapai 140.013 Ha. “Dengan kata lain 117% dari luas wilayah kecamatan dikuasai oleh industri, terdiri dari 10 izin tambang, 9 izin sawit, dan 1 izin HTI.”
Keberadaan industri ini selain menghimpit wilayah kelola masyarakat adat, juga belum mampu mendorong perbaikan kualitas hidup. Desa-desa yang berada di sekitar industri ini masih sulit mendapatkan akses layanan publik yang baik, seperti air, listrik, dan infrastruktur jalan.
Perusahaan tambang yang masuk sejak tahun 2010-an ini malah menyebabkan kerusakan lingkungan dan terancamnya situs pedagi. “Danau Semenduk di Desa Sejotang kini sudah rusak, akibat menjadi tempat pembuangan limbah cucian bauksit PT. Mahkota Karya Utama. Padahal, danau tersebut berada di luar konsesi perusahaan.”
Sekretaris Desa Subah, Toni, menyampaikan bahkan situs pedagi yang berada di Bukit Satok terancam. Pedagi merupakan tempat yang disakralkan masyarakat adat Dayak, karena merupakan tempat beribadah para leluhur. “Konsesi tambang membuat sebagian Bukit Satok menjadi gundul sebagian,” ujar Toni.
Menanggapi hal ini, Mahir Takaka, staf khusus Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), menyampaikan perlu menggunakan FPIC (Free Prior Informed Consent) sebagai instrumen ketika program/proyek investasi akan masuk dalam sebuah wilayah kelola masyarakat adat. Sudah menjadi hak masyarakat untuk mendapatkan informasi sebelum sebuah program atau proyek investasi dilaksanakan dalam wilayah mereka, dan berdasarkan informasi tersebut, masyarakat adat secara bebas tanpa tekanan menyatakan setuju atau menolak. “Seringkali perusahaan tambang, sawit, atau HTI masuk sudah berupa sosialisasi, bukan lagi menanyakan kesediaan masyarakat,” ujarnya.
Perda RTRWP Kalimantan Barat No.10/2014 menetapkan Tayan sebagai Kawasan Industri Khusus Pertambangan. Memastikan agar hak masyarakat adat tidak terampas, masyarakat adat Dayak bersama Swandiri Institute mendorong DPRD Sanggau untuk menyusun Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) tentang pengakuan dan perlindungan masyarakat adat. Serta mendorong adanya skema bagi hasil kabupaten ke desa-desa terdampak dari Dana Bagi Hasil Minerba.
Juga mendorong aspek kerusakan lingkungan dan pelanggaran hukum sebagai bahan pertimbangan dalam penentuan status Clear and Clean (CnC) perusahaan tambang. Pasalnya, status CnC saat ini diberikan kepada perusahaan tambang yang memenuhi persyaratan administrasi (kepemilikan NPWP) dan tumpang tindih kawasan.
Sedangkan terkait dengan rusaknya Danau Semenduk, masyarakat adat akan melakukan gugatan ganti rugi (class action) terhadap perusahaan ekstraktif yang merusak lingkungan dan merugikan masyarakat sekitar.