Jakarta – Pemerintah melalui pernyataan Ridwan Djamaluddin, Direktur Jenderal (Dirjen) Mineral dan Batubara, kembali lagi memberikan perpanjangan operasional kepada PT Kaltim Prima Coal (KPC) dan PT Kendilo Coal Indonesia selaku pemegang Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) generasi 1 yang masa kontraknya berakhir pada tahun 20211. Kedua pemegang PKP2B tersebut mendapatkan perpanjangan operasional pertambangan batubara berbentuk Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) selama sepuluh (10) tahun kedepan. Berdasarkan data dari Minerba One Data Indonesia (MODI), PT. Kendilo Coal Indonesia dengan SK Nomor 60/1/IUP/PMA/2021 mendapatkan perpanjangan dalam bentuk IUPK yang berlaku mulai tanggal 14 September 2021 sampai dengan 13 September 2031 dengan luas 1.869 Ha. Adapun, sampai dengan rilis ini disusun (24 Januari 2022 Pukul 15.41 WIB), data PT. Kaltim Prima Coal tidak tercantum di dalam MODI.

Proses perpanjangan PKP2B ini tidak terlepas dari terbitnya Undang-Undang (UU) Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Minerba yang baru dengan segala kontroversi dan penolakan publik2. Pasalnya, UU No 3 Tahun 2020 menyisipkan pasal 169 A yang memberikan jaminan perpanjangan bagi PKP2B dan Kontrak Karya (KK) menjadi IUPK sebagai kelanjutan operasi perjanjian kontrak/perjanjian, termasuk dijamin mendapatkan 2 (dua kali perpanjangan untuk jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) tahun dengan mempertimbangkan upaya peningkatan penerimaan negara. Lebih lanjut, pasal 169 B mengatur proses perpanjangan operasional menjadi IUPK akan mempertimbangkan hasil evaluasi kinerja pengusahaan pertambangan yang baik.

Aryanto Nugroho, Koordinator Nasional Publish What You Pay (PWYP) Indonesia mengungkapkan,”Terlepas bahwa Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutus uji materiil UU Minerba dalam perkara Nomor 64/PUU-XVIII/2020, dimana MK menyatakan ketentuan Pasal 169A ayat (1) huruf a dan huruf b UU Minerba sepanjang kata ‘dijamin’ bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai ‘dapat’, Pemerintah nampaknya tetap bergeming untuk memperpanjang kontrak PT. KPC dan PT. Kendilo Coal Indonesia.”

“Seharusnya, putusan MK tersebut menjadi momentum untuk penataan kembali keberadaan PKP2B dan IUP batubara dengan mengejawantahkan penguasaan negara terhadap sumber daya alam, khususnya pemberian izin/perpanjangan IUPK. Opsi-opsi untuk tidak memperpanjang PKP2B misalnya dalam konteks pengendalian produksi dan ekspor, upaya percepatan transisi energi maupun mitigasi resiko terhadap dampak sosial dan lingkungan harus dikaji lebih mendalam.” jelas Aryanto.

Namun, sama halnya dengan proses perpanjangan dan pemberian IUPK terhadap PT Arutmin sebelumnya, proses perpanjangan PKP2B kedua perusahaan tersebut cenderung tertutup dan hasil evaluasi kinerja pengusahaannya tidak disampaikan kepada publik. PWYP Indonesia melihat terdapat sejumlah kejanggalan dan mempertanyakan proses pemberian perpanjangan kepada kedua perusahaan tersebut.

Radikal Lukafiardi, Peneliti PWYP Indonesia menyampaikan bahwa proses perpanjangan IUPK kepada PT Kendilo Coal Indonesia dan PT KPC cenderung tertutup dan tidak transparan, sehingga publik mempertanyakan dasar dari evaluasi perpanjangan tersebut. Pemerintah seharusnya membuka terlebih dahulu dokumen kontrak PKP2B dari kedua perusahaan tersebut. Keterbukaan dokumen PKP2B ini penting untuk melihat sejauh mana hak dan kewajiban yang telah dilaksanakan dan bagaimana kinerjanya, sehingga publik dapat menganalisa kepatuhannya dalam pelaksanaan kontrak. Selain itu, publik dapat membandingkannya dengan ketentuan hak dan kewajiban dari pemegang IUPK tersebut. Selama ini, pemerintah hanya mengungkapkan secara umum, bahwa perpanjangan dan pemberian IUPK mempertimbangkan peningkatan penerimaan negara tanpa memberikan penjelasan perbandingan antara dokumen PKP2B dengan IUPK. Selain itu, tim evaluator, notulensi rapat terkait proses evaluasi terhadap izin, dan catatan perkembangan diskusi juga perlu untuk dibuka kepada publik sehingga publik menilai apakah kedua perusahaan tersebut layak atau tidak untuk diberikan izin dalam kelanjutan operasional pertambangannya.

“Proses perpanjangan ini sudah seharusnya memperhatikan aspek tata kelola yang baik (partisipasi, transparansi, dan akuntabilitas). Keterbukaan data kontrak PKP2B dan IUPK menjadi hal yang mutlak untuk dipublikasi dalam proses perpanjangan. Selain itu, pembahasan dan catatan diskusi mengenai evaluasi dalam penentuan disetujuinya perpanjangan menjadi IUPK juga harus dibuka kepada publik. Hal ini diatur dalam UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) yang telah memandatkan bahwa perjanjian, termasuk kontrak dan izin, yang dibuat antara badan publik dengan pihak ketiga merupakan informasi publik (Pasal 11 Ayat 1e). Di dalam UU Minerba juga memandatkan bahwa pemerintah wajib menyajikan informasi pertambangan secara akurat, mutakhir, dan dapat diakses dengan mudah dan cepat oleh pemegang perizinan berusaha dan masyarakat (Pasal 87).” tegas Radikal

Radikal menambahkan bahwa dalam konteks global, Indonesia telah dinilai sebagai negara pertama di ASEAN yang mematuhi standar transparansi global EITI3. Di sisi lain, minimnya akses akan pengawasan publik, transparansi dan akuntabilitas lembaga terkait dalam proses perpanjangan PKP2B ini sangat kontraproduktif dengan upaya Indonesia untuk mematuhi standard global EITI International4. Merujuk kepada kerangka kerja legal dan institusional, sudah semestinya pemerintah Indonesia memenuhi standar EITI Internasional tentang keterbukaan kontrak, termasuk didalamnya; (i) proses pemberian dan/ atau perpanjangan Izin Usaha pertambangan Khusus (IUPK), (ii) dokumen terkait proses hingga kesepakatan terbitnya perpanjangan IUPK, dan (iii) informasi tentang perusahaan penerima IUPK.

Di satu sisi, muncul pertanyaan mendasar, dalam hal ini evaluasi proses perpanjangan akan memunculkan sejumlah pertanyaan kepada publik: Apakah aspek sosial dan lingkungan juga menjadi salah satu aspek evaluasi? Bagaimana kinerja dengan tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan tersebut selama masa kontrak PKP2B? Bagaimana mitigasi risikonya?

“Pemerintah saat ini banyak menyebut soal pendekatan Risk Based Approach (RBA) dalam pemberian izin berusaha. Seharusnya jika pendekatan ini dilakukan, bukan hanya soal penerimaan negara saja yang dikedepankan. Pemerintah juga harus dapat menyampaikan kepada publik, risiko-risiko apa saja yang akan didapatkan ketika memberikan perpanjangan kepada perusahaan tersebut. Terutama yang berkaitan dengan dampaknya terhadap ekologi (lingkungan), sosial dan budaya, perubahan iklim maupun risiko-risiko lainnya. Termasuk mitigasi risiko yang juga harus disampaikan kepada publik, khususnya masyarakat dan komunitas di sekitar tambang yang terdampak secara langsung.” jelas Radikal.

Aryanto yang juga wakil masyarakat sipil dalam Tim Pelaksana EITI Indonesia, menambahkan bahwa UU Minerba pasal 169 A ayat (4) menyebutkan bahwa pemegang IUPK sebagai kelanjutan operasi kontrak/perizinan untuk komoditas batubara WAJIB melaksanakan kegiatan pengembangan dan/atau pemanfaatan batubara di dalam negeri sesuai dengan ketentuan perundang-perundangan. Dan juga pasal 169 B ayat (3), pemerintah dalam memberikan IUPK sebagai kelanjutan operasi kontrak/perizinan mempertimbangkan aspek kepentingan nasional. Hal ini mengindikasikan bahwa pemegang IUPK sebagai kelanjutan operasi WAJIB untuk memprioritaskan pemanfataan batubaranya untuk kebutuhan dalam negeri. Jangan sampai terjadi problematika yang sama setiap tahun mengenai Domestic Market Obligation batubara yang tidak memenuhi target tahunan. Bahkan per Desember 2021, realisasi DMO batubara hanya mencapai 10% dari total produksi nasional, yaitu 63,57 juta ton5. Hal tersebut yang menyebabkan adanya polemik pemerintah mengeluarkan surat edaran untuk pemberhentian ekspor sementara guna menjaga ketahanan energi nasional6. Bahkan dalam pertengahan tahun 2021, pemerintah melakukan hal yang sama untuk pemberhentian ekspor sementara kepada 34 perusahaan yang belum memenuhi kebutuhan DMO untuk nasional, dan salah satunya adalah pemegang IUPK sebagai kelanjutan operasi kontrak PKP2B, yaitu PT Arutmin Indonesia7. Oleh karena itu, komitmen pemegang IUPK sebagai kelanjutan operasi kontrak PKP2B perlu diawasi dan diprioritaskan untuk kebutuhan dalam negeri sesuai dengan amanat UU Minerba yang berlaku.

Poin krusial lainnya, bagaimana Pemerintah memastikan bahwa PT. Arutmin, PT. Kendilo Coal Indonesia dan PT. KPC telah melaksanakan kewajiban untuk melaksanakan peningkatan nilai tambah di dalam negeri. Pertanyaan besarnya, apakah Perusahaan- Perusahan tersebut sudah siap atau masih sebatas komitmen? Bagaimana peran pemerintah memastikan mereka melakukan peningkatan nilai tambah secara terintegrasi dari hulu ke hilir? Berapa biaya investasinya? Apa resiko-nya? Bagaimana mitigasi resikonya?

“Pemerintah harus menjelaskan hal tersebut kepada publik.” imbuh Aryanto.

  1. https://www.cnbcindonesia.com/news/20220120165710-4-309140/sah-kontrak-batu-bara-kpc-bumidiperpanjang- jadi-iupk
  2. https://pwypindonesia.org/id/dpr-batalkan-pembahasan-dan-pengesahan-ruu-pertambanganminerba- jangan-manfaatkan-situasi-fokus-selamatkan-rakyat-dari-pendemik-covid-19/
  3. “Indonesia adalah negara ASEAN Pertama yang Mencapai Status Negara Taat EITI”, https://www.worldbank.org/in/news/feature/2014/11/19/indonesia-is-first-asean-country-to-achieveeiti- compliance
  4. EITI Requirement 2.2; Contract and license allocations https://eiti.org/document/guidance-note-eitirequirement- 22
  5. https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2022/01/05/selama-5-tahun-terakhir-target-25-dmo-batubara- hanya-tercapai-sekali
  6. https://nasional.kontan.co.id/news/kementerian-esdm-larang-ekspor-batubara-hingga-31-januari- 2022-ini-alasannya
  7. https://pwypindonesia.org/id/pwyp-indonesia-desak-pemerintah-tak-lagi-beri-kelonggaran-bagiperusahaan- tak-patuh-kewajiban-dmo-batubara-dan-konsisten-kendalikan-produksi-batubara/