Salah satu peserta sedang menjelaskan mapping
Salah satu peserta sedang menjelaskan mapping aktor dan isu kunci migas (dok. NRGI)

Di sela-sela kesibukan sebagai jurnalis, sebanyak 14 jurnalis dari berbagai media hadir dalam pelatihan jurnalistik mengenai tata kelola migas di Bogor, 15-17 Juni 2015. Ihwal diadakannya pelatihan tersebut didasari perdebatan mengenai revisi Undang-undang Migas yang sedang hangat di media, mengingat revisi UU Migas ini masuk dalam daftar PROLEGNAS prioritas di tahun 2015.

Acara pelatihan tersebut diselenggarakan atas kerjasama Natural Resources Governance Institue (NRGI), PWYP Indonesia, dan Bojonegoro Institute. Pelatihan menyasar kalangan media karena dianggap memiliki peran penting dalam mengawal proses revisi UU. Selain itu, pelatihan ini juga berusaha meningkatkan pemahaman media mengenai akuntabilitas dari tata kelola industri migas itu sendiri. Media menjadi penyampai informasi kepada masyarakat luas mengenai perdebatan yang terjadi terkait revisi UU ini. Di sisi lain, tantangan yang dihadapi oleh wartawan dalam peliputan sektor migas yaitu kecenderungan tertutupnya akses informasi dan sarat informasi teknis.

Manajer Komunikasi dan Outreach Koalisi Masyarakat Sipil PWYP Indonesia, Agung Budiono menjelaskan, format pelatihan ini adalah diskusi terfokus dan workshop. “Tujuannya untuk mengetahui praktek peliputan isu migas yang dilakukan oleh wartawan, dan kendala yang dihadapi di lapangan,”

Salah satu peserta Ririn Wedia, wartawan Suara Banyuurip, media lokal dari wilayah Bojonegoro mengatakan, kesulitan yang dialami dalam peliputan adalah kurangnya transparansi dari stakeholder migas. “Di Bojonegoro terdapat Blok Cepu, kendala yang kami hadapi adalah kurangnya transparansi operator terkait dana CSR, sulit juga mendapat klarifikasi dari operator jika terjadi kecelakaan kerja di dalam proyek, operator juga jarang memberikan keterangan atau informasi apapun terkait kegiatan industri migas. Serta kurangnya transparansi dari BUMD PT Asri Dharma Sejahtera terkait pengelolaanParticipating Interest,” ujarnya.

Workshop ini juga menghadirkan Harry Surjadi, founder Society of Indonesian Environmental Journalist sebagai fasilitator. Harry menjelaskan tentang pedoman bagi jurnalis sebelum turun ke lapangan. “Kita perlu terampil dalam mengungkapkan cerita dengan fakta yang nyata, bukan fiksi,” jelas dia. Harry menambahkan, isu peliputan setidaknya berisi informed participation atau adanya partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan soal migas.

Di hari kedua, hadir Satya Widya Yudha, anggota Komisi VII DPR RI. Berkapasitas sebagai pembicara diskusi khusus tentang revisi UU Migas. Poin penting yang disampaikan Satya adalah kemandirian energi dan kedaulatan negara harus menjadi roh dalam revisi ini. “Keterlibatan publik sudah dimulai sejak penyusunan naskah akademik UU ini, dan draft revisi UU periode 2009-2014 menjadi referensi bagi draft UU Migas saat ini.” ujarnya.

Jalal, aktivis Lingkar Studi CSR, menyampaikan pentingnya aspek sosial dan lingkungan dalam revisi UU migas. “Perusahaan migas masih melihat Corporate Social Responsibility (CSR) dalam konteks ‘apa untungnya untuk perusahaan’? CSR masih cenderung dilihat sebagai alat peredam konflik agar kemanan beroperasi terjamin, bagusnya reputasi perusahaan, dan keuntungan finansial.” ujar Jalal, aktivis di Lingkar Studi CSR. “UU Migas yg baru nanti sebaiknya mencakup aspek lingkungan, kesehatan & keselamatan, aspek sosial dan ekonomi.” tambah Jalal.