Pendahuluan

Indonesia telah berkomitmen untuk mengurangi emisi sebesar 29% pada tahun 2030, atau 41% dengan dukungan internasional, sebagai bagian dari Kontribusi yang Ditetapkan Secara Nasional (Nationally Determined Contribution/NDC) di bawah Perjanjian Paris untuk membatasi kenaikan suhu global hingga 1,5°C. Batubara, sebagai sumber energi utama, menyumbang 40,46% dari bauran energi nasional. Meskipun ada target untuk mengurangi porsi batubara menjadi 30% pada tahun 2025 dan 25% pada tahun 2050, produksi batubara justru meningkat, mencapai 766,9 juta ton pada tahun 2023.

Studi PWYP Indonesia (PWYP Indonesia, 2021) menyoroti inkonsistensi dalam pengendalian produksi dan ekspor batubara oleh pemerintah, dengan target yang sering direvisi untuk memenuhi permintaan yang lebih tinggi. Untuk tahun 2024, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral menyetujui rencana produksi tertinggi sebesar 922,14 juta ton, yang dapat menghambat transisi energi.

Regulasi produksi batubara yang ambigu oleh Pemerintah Indonesia menimbulkan kekhawatiran serius yang membutuhkan perhatian segera. Dalam praktiknya, pembuat kebijakan masih memandang batubara sebagai komoditas yang menghasilkan pendapatan negara. Data menunjukkan bahwa produksi batubara terus meningkat, menyebabkan peningkatan ekspor, dengan sumber daya ini masih dianggap sebagai “easy money” untuk pendapatan negara dan daerah serta untuk mengimbangi defisit perdagangan internasional (IESR, 2019). Ironisnya, pendapatan dari sektor batubara diduga menguap akibat pengawasan yang lemah dan kepatuhan rendah di kalangan pelaku usaha (PWYP Indonesia, 2018). Meskipun berkontribusi pada emisi berbahaya, batubara tetap dianggap sebagai bahan baku termurah dan termudah untuk pembangkit listrik tenaga batubara, mengingat ketersediaannya di Indonesia dan harganya yang relatif terjangkau.

Lebih jauh lagi, produksi batubara yang tidak terkendali juga membuka peluang bagi batubara untuk dianggap sebagai bagian dari “solusi palsu” melalui proyek hilirisasi batubara, seperti pengembangan Dimethyl Ether (DME) atau pemanfaatan co-firing di pembangkit listrik. Langkah-langkah ini mungkin tampak sebagai kemajuan inovatif atau solusi transisi, tetapi pada akhirnya berisiko melanggengkan ketergantungan pada batubara, melemahkan upaya nyata menuju transisi energi berkelanjutan. Alih-alih mengurangi ketergantungan pada batubara, kebijakan ini mungkin hanya menciptakan “ilusi” kemajuan sambil menunda peralihan yang diperlukan ke sumber energi yang lebih bersih.

Di satu sisi, upaya untuk mempercepat transisi energi juga harus melibatkan perusahaan batubara di Indonesia, terutama pemegang Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), yang menyumbang lebih dari 40% total produksi batubara di Indonesia. Perusahaan batubara perlu beralih ke bisnis yang lebih hijau untuk memastikan keberlanjutan jangka panjang dan transisi yang adil. Transisi ini tidak hanya akan membantu mengurangi dampak sosial dan lingkungan yang negatif, tetapi juga membuka peluang baru di sektor energi terbarukan seperti surya, angin, mikrohidro, dan lain-lain. Pergeseran ini tidak boleh hanya melibatkan praktik “bisnis hijau palsu” seperti teknologi co-firing yang menggabungkan batubara dengan biomassa untuk mengurangi emisi. Sebaliknya, ini berarti memastikan bahwa perusahaan batubara secara bertahap beralih menuju bisnis hijau yang mendukung energi terbarukan dan pengurangan emisi karbon.

PWYP Indonesia bekerja sama dengan organisasi masyarakat sipil (CSO) akan melakukan beberapa advokasi kebijakan rencana energi dan pembangunan untuk mengendalikan eksploitasi batubara dan kebijakan untuk meningkatkan tata kelola sektor batubara; melakukan kampanye untuk moratorium pertambangan batubara dan kampanye terkait perubahan iklim; mengadakan forum multi-pemangku kepentingan antara CSO, pemerintah, industri batubara, dan asosiasi; membangun kapasitas CSO terkait regulasi dan kebijakan terbaru di sektor batubara serta peluang untuk advokasi dan kampanye.

Tujuan Program

  • Meningkatkan peran organisasi masyarakat sipil (CSO) sebagai penggerak tata kelola batubara yang mendukung transisi energi.
  • Membatasi produksi dan ekspor batubara maksimum 600 juta ton pada 2027.
  • Menghentikan penerbitan izin tambang batubara baru di kawasan hutan, pesisir, dan pulau kecil.
  • Mendorong perusahaan batubara besar memiliki peta jalan untuk beralih ke bisnis hijau sejati.

Kegiatan

  • Advokasi kebijakan energi dan rencana pembangunan untuk mengendalikan eksploitasi batubara dan kebijakan untuk meningkatkan tata kelola sektor batubara;
  • Melakukan kampanye moratorium pertambangan batubara dan kampanye terkait perubahan iklim; menyelenggarakan forum multipihak antara CSO, pemerintah, industri batubara dan asosiasi;
  • Melakukan peningkatan kapasitas CSO tentang peraturan dan kebijakan terkini di sektor batubara
  • Mendorong perusahaan batubara besar di Indonesia untuk mulai beralih ke industri yang lebih hijau.
  • Rangkaian kegiatan pada proyek ini dilaksanakan selama tiga tahun yang dimulai pada Desember 2024 dengan melibatkan berbagai jaringan dan stakeholder Koalisi PWYP Indonesia.


Artikel Terkait


Bagikan