Transisi energi masih kurang mendapat tempat dan perhatian serius pemerintah. Meskipun kata Presiden Prabowo, Indonesia memiliki visi besar mencapai net zero emission sebelum tahun 2050, di antaranya akan dilakukan dengan konversi pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) ke energi baru terbarukan. Seakan memberi harapan keluar dari ketergantungan energi fosil, termasuk batu bara.
“Kami juga memiliki sumber daya panas bumi yang luar biasa, dan kami berencana untuk menghentikan pembangkit listrik tenaga batu bara dan semua pembangkit listrik tenaga fosil dalam 15 tahun ke depan. Kami berencana untuk membangun lebih dari 75 gigawatt tenaga terbarukan dalam 15 tahun ke depan.” Demikian pidato Presiden Prabowo Subianto dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) di Brazil, 19 November lalu.
Sayangnya, sejumlah kebijakan di tahun 2024 justru mencerminkan ketidakseriusan itu. Pemerintah tidak menunjukkan sikap ambisius terhadap upaya transisi energi; dari fosil menuju energi terbarukan. Justru semakin memperkuat peran energi fosil di Indonesia.
Belum genap sebulan pidato presiden di forum internasional itu, Menteri Energi Sumber Daya Alam (ESDM) Bahlil Lahadalia justru menyampaikan semangat yang sebaliknya. Kata dia, batu bara masih merupakan sumber energi yang murah dan kompetitif. Jika produksi, penerimaan negara dan pertumbuhan ekonomi daerah meningkat, maka batu bara akan tetap menjadi andalan sumber energi. Di saat yang sama, meyakini teknologi dalam menurunkan emisi gas rumah kaca masih belum terjangkau.
Tak sampai di situ, 29 November, Bahlil juga mengesahkan rencana nasional ketenagalistrikan melalui Keputusan Menteri (Kepmen) ESDM Nomor 314.K/TL.01/MEM.L/2024 tentang Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN). Dimana pembangkit listrik direncanakan masih menggunakan energi berbasis fosil, termasuk batu bara hingga tahun 2060 mendatang.
Selain itu, perubahan target bauran energi 2025 yang terus turun misalnya. Dari 23%, menjadi dalam rentang 17-19% dalam Rancangan Peraturan Pemerintah Kebijakan Energi Nasional (RPP KEN). Bersamaan dengan hal tersebut, peran batu bara makin mendominasi. Produksinya terus naik dalam beberapa tahun terakhir ini. Dikutip dari Minerba One Data Indonesia (MODI) Kementerian ESDM, produksi nasional batu bara di tahun 2020 sebesar 565,69 juta ton. Naik menjadi 606,28 juta ton di tahun berikutnya. Tahun 2022, naik lagi menjadi 685,80 juta ton. Dan naik lagi di tahun 2023 menjadi 770,90 juta ton. Untuk tahun 2024, per 29 Desember, produksinya mencapai 807,34 juta ton.
Padahal, dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 22 Tahun 2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), produksi batu bara harusnya mulai dikendalikan maksimal 400 juta ton di tahun 2019. Target tersebut dapat berubah dengan catatan kebutuhan batu bara domestik melebihi 400 juta ton per tahun. Sebagaimana diketahui, kebutuhan domestik saat ini belum menyentuh 400 juta ton. Realisasi kebutuhan domestik tahun 2023 baru mencapai 213 juta ton dari target 177 juta ton. Sementara tahun 2024 diproyeksikan sebesar 187 juta ton.
Kegagalan pengendalian produksi batu bara sebetulnya telah berlangsung bahkan sebelum tahun 2020. Pada aspek regulasi pengendalian produksi misalnya. Selain diamanatkan oleh RUEN maupun Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) 2015-2019, kebijakan pengendalian produksi batubara juga kembali diatur dalam Peraturan Menteri (Permen) ESDM yang terbaru, Permen Nomor 25 Tahun 2018 tentang Pengusahaan Pertambangan Mineral dan Batubara. Disebutkan dalam regulasi tersebut bahwa salah satu wewenang pemerintah adalah melakukan pengendalian produksi batubara untuk memenuhi aspek lingkungan dan melakukan konservasi sumber daya mineral dan batubara (Minerba). Namun wewenang ini belum dijalankan secara optimal bahkan bertolak belakang jika menilik realisasi produksi batubara nasional yang selalu melebihi target RPJMN 2015-2019 (PWYP Indonesia, 2018).
Realisasi produksi batu bara yang terus meningkat jauh meninggalkan jumlah target pengendalian produksi dalam RUEN, menggambarkan ketidakseriusan pemerintah keluar dari ketergantungan fosil. Alih-alih menyelaraskan kebijakan batu bara mencapai target RUEN tersebut, pemerintah malah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2024 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara.
Aturan yang ditandatangani Presiden Jokowi tersebut melahirkan polemik. Yang paling utama, kontradiktif dengan semangat transisi energi dan bertentangan dengan Undang-Undang (UU) Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan MIneral dan Batubara (Minerba). Adanya dugaan politik balas budi, penyusunan yang miskin partisipasi publik dan berpotensi rawan konflik sosial di daerah lingkar tambang.
Melalui pasal 83A dalam PP tersebut, pemerintah memberi karpet merah kepada organisasi keagamaan untuk melakukan pertambangan batu bara eks Perjanjian Kerja Pengusahaan Pertambangan Batu Bara (PKP2B). Seharusnya, lahan eks PKP2B tak perlu lagi dieksploitasi, apalagi memberikan prioritas pengelolaannya kepada badan usaha ormas keagamaan. Pemerintah harusnya fokus pada perbaikan tata kelola yang sejalan dengan transisi energi seperti moratorium izin batu bara
Tetap diproduksinya batu bara dari lahan eks PKP2B tentu akan berkontribusi pada jumlah produksi batu bara nasional dan semakin menjauhkan target produksi batu bara dari target RUEN. Kebijakan ini tak sejalan dengan semangat transisi energi.
Di sisi lain, pemberian secara prioritas pertambangan kepada kelompok masyarakat tertentu juga bertentangan dengan semangat UU Minerba. Dalam UU ini, tak ada mandat kepada pemerintah untuk memberikan prioritas pemberian Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) kepada ormas.
Prioritas pemberian izin pertambangan harusnya memperhatikan kepentingan daerah, dan diberikan kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), sebagaimana amanat pasal 75 ayat 3 UU Minerba. Selain itu, implementasi pasal 83A tersebut memiliki risiko, dan baik pemerintah maupun penerima izin (ormas keagamaan) tidak siap dengan itu. Mulai dari mulai dari resiko teknis dan mekanisme lelang Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK), risiko teknis pertambangan, risiko lingkungan, risiko akan adanya potensi konflik horizontal, risiko konflik kepentingan dan risiko korupsi.
Persoalan lain dari PP 25/2024 ini, tentang hilangnya kata ‘tahunan’ dalam Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) dalam pasal 177, pasal 180 dan pasal 183. RKAB sebagai alat kontrol dalam hal pembinaan dan pengawasan. Hilangnya kata ‘tahunan’ akan mengakibatkan produksi batu bara makin tak terkendali.
Kebijakan pengelolaan sumber daya alam seharusnya berorientasi pada komitmen-komitmen yang sejalan dengan semangat transisi energi. Apalagi, di tengah produksi batu bara yang terus meningkat tiap tahun dan semakin jauh dari amanat RUEN, yang mengakibatkan ketergantungan Indonesia pada sumber energi fosil semakin besar. Sehingga diperlukan pengendalian produksi batu bara yang serius agar sejalan dengan semangat transisi energi dan amanat RUEN tersebut.
Artikel ini dipublish juga di: Indonesiana