Jakarta – Publish What You Pay (PWYP) Indonesia bersama Gema Alam NTB dan LBH Apik NTB menggelar bootcamp bertajuk “Memotret Keadilan Transisi Energi Indonesia.” Kegiatan ini berlangsung di Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB), selama tiga hari dari 28 hingga 30 April 2025. Peserta berjumlah 45 orang yang berasal dari 32 organisasi/lembaga, dengan komposisi 30 orang perempuan dan 15 orang laki-laki.
Kegiatan ini merupakan upaya untuk meningkatkan pemahaman perempuan dan kelompok rentan mengenai perkembangan transisi energi di tingkat nasional dan provinsi, mengangkat pengalaman dan pengetahuan perempuan terkait inisiatif energi terbarukan berbasis komunitas, berbagi cerita dampak pembangunan proyek energi terbarukan di tingkat tapak, serta memperkuat jaringan dan kolaborasi untuk mendorong transisi energi yang adil dan inklusif.
Pada hari pertama, peserta berbagi pengalaman dan berdiskusi tentang perkembangan transisi energi di tingkat nasional, di Nusa Tenggara Barat (NTB) dan di Nusa Tenggara Timur (NTT). Kemudian bagaimana membangun narasi transisi energi yang berkeadilan dan inklusif. Juga mengupas pengalaman dan pengetahuan perempuan terkait inisiatif energi terbarukan, serta dampak pembangunan energi terbarukan terhadap kelompok rentan di tingkat tapak.
Potret Transisi Energi Nasional dan Daerah
Terkait transisi energi di tingkat nasional, saat ini, pemerintah dan DPR telah menyepakati Kebijakan Energi Nasional (KEN) yang baru. Secara otomatis, akan ada perubahan terhadap Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) karena RUEN mengacu pada KEN. Bersamaan itu, ada kritik terhadap narasi energi baru terbarukan (EBT), yang seharusnya lebih mengedepankan energi terbarukan, bukan energi baru. Energi baru dinilai justru memperpanjang ketergantungan terhadap energi fosil.
Disampaikan Kepala Divisi Penelitian dan Advokasi PWYP Indonesia, Mouna Wasef sebagai pemantik diskusi hari pertama tersebut, ada berbagai solusi palsu yang menjadi momok transisi energi. Sehingga keluar dari ketergantungan fosil dan melakukan peralihan ke energi terbarukan sulit terwujud. Selaras itu, pengembangan energi terbarukan memiliki tantangan, mulai dari keberpihakan kebijakan, pendanaan, proses perizinan serta ketersediaan infrastruktur.
Sementara dalam konteks transisi energi di daerah, NTB memiliki optimisme yang tinggi dengan berbagai sumber daya alam yang dimiliki. Sumbawa dan Lombok memiliki sumber energi yang potensial dikembangkan yaitu bio energi, panas bumi, air, sampah, angin, dan surya. Ada lima sektor yang menjadi target pengembangan energi hijau di NTB yaitu perumahan, komersial, industri, tambang, dan transportasi.
NTT tak kalah optimistis dengan NTB. Rencana Umum Energi Daerah (RUED) NTT juga menekankan peran bauran energi terbarukan. Pemerintah daerahnya memiliki visi untuk membangun ekonomi NTT yang maju dan berdaya saing berbasis ekonomi hijau dan ekonomi biru, serta transisi energi yang inklusif dan berketahanan sosial budaya dan ekologi. Meski diakui perwakilan CIS Timor, Lusia Carningsih Bunga yang juga sebagai pemantik diskusi, ada sejumlah tantangan yang dihadapi yaitu infrastruktur EBT yang masih minim, belum masifnya regulasi daerah yang mendorong pemanfaatan EBT, dan tingginya biaya investasi.
Pengalaman di Lapangan
Hari kedua kegiatan, peserta melakukan kunjungan lapangan, terbagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama, melihat perjuangan dan keberhasilan gerakan perempuan mendorong pembangunan solar water pump (SWP) di Desa Pandan Indah, Lombok Tengah. Sementara kelompok kedua, melakukan kunjungan ke Desa Buwun Sejati, Lombok Barat, melihat dampak pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTMH).
SWP di Desa Pandan Indah merupakan hasil dorongan kaum perempuan, yang merupakan binaan Sekolah Setara. Inisiatif kelompok perempuan itu menyelamatkan kawasan lokasi SWP tersebut dari momok kekeringan. Sinar matahari diubah menjadi tenaga surya yang menjadi tenaga listrik untuk memompa air. Ini menjadi bukti kontribusi perempuan dalam mewujudkan transisi energi berbasis komunitas.
Sementara di Buwun Sejati, berbeda persoalan. Pembangunan PLTMH mengancam ruang hidup masyarakat sekitar. Kolam penampungan air untuk PLTMH menyimpan potensi ancaman bagi masyarakat yang rumahnya berada di sekitar kolam, seperti banjir dan jebolnya kolam penampung. Pasalnya, jarak kolam tak lebih dari lima meter dengan rumah warga. Salah satu kelompok yang paling rentan adalah perempuan.
Dari dua kunjungan di atas, memberi pelajaran bahwa perempuan dapat menjadi pelaku perubahan di sektor energi. Di saat yang sama, perempuan bisa menjadi kelompok rentan terkena dampak dari pembangunan, termasuk dalam konteks transisi energi. Ini menjadi salah satu contoh mengapa transisi energi harus diwujudkan dengan adil dan inklusif.
Sebagai hasil akhir dari kegiatan ini, peserta membuat karya hasil kunjungan lapangan dari dua tempat tersebut, dengan mengangkat tema transisi energi yang berkeadilan dan inklusif. Karya berupa produk jurnalistik dan konten media sosial ini diharapkan menjadi sarana kampanye untuk mendorong transisi energi yang berkeadilan dan inklusif.
Penulis: Ariyansah N Kiliu
Reviewer: Mouna Wasef