Mataram, 18 Desember 2024 – Publish What You Pay (PWYP) Indonesia bersama Yayasan Penabulu menggelar acara Multi-Stakeholder Capacity Building yang dihadiri oleh 44 peserta dari berbagai sektor, termasuk perwakilan pemerintah daerah, swasta, media massa, dan organisasi masyarakat sipil. Acara ini bertujuan untuk meningkatkan pemahaman tentang kebijakan transisi energi berkeadilan dan pengarusutamaan Gender Equality, Disability, and Social Inclusion (GEDSI), serta membahas skema pemantauan proyek transisi energi yang dapat dilakukan oleh pemerintah daerah dan komunitas terdampak.

Tujuan utamanya adalah memastikan bahwa kebijakan transisi energi memperhitungkan aspek sosial dan ekonomi agar tidak memperburuk ketimpangan, terutama bagi perempuan dan kelompok rentan. Acara ini juga merupakan bagian dari upaya untuk merespon revisi Comprehensive Investment and Policy Plan Just Energy Transition Partnership Indonesia (CIPP JETP) 2023. Saat ini, Sekretariat JETP tengah menyusun operasionalisasi dan skema pemantauan dan evaluasi proyek transisi energi di Indonesia, yang memerlukan partisipasi aktif dari berbagai pihak. Khususnya di Nusa Tenggara Barat (NTB), provinsi yang bercita-cita mencapai emisi nol bersih lebih awal pada 2050.

PWYP Indonesia dan Yayasan Penabulu mengundang tiga narasumber utama yang menyampaikan materi dalam tiga sesi. Acara ini diakhiri dengan diskusi kelompok untuk mendapatkan masukan indikator pemantauan proyek transisi energi di Indonesia.

Pada sesi pertama, Kemala Fabrian, Koordinator Proyek Sekretariat JETP, menjelaskan dasar kerangka kebijakan transisi energi serta peran Sekretariat JETP dalam proyek transisi energi berkeadilan. JETP memiliki tiga target utama:

  • Pembatasan emisi: Emisi sektor ketenagalistrikan harus di bawah 290 juta metrik ton CO2 pada 2030.
  • Peningkatan energi terbarukan: 34% dari pembangkit listrik harus berasal dari energi terbarukan pada 2030.
  • Mobilisasi pendanaan: Memobilisasi dana senilai 20 miliar USD, dengan pembagian masing-masing 10 miliar USD dari pendanaan publik dan swasta, termasuk kontribusi International Partner Groups (IPG) dan Glasgow Financial Alliance for Net Zero (GFANZ).

Sekretariat JETP memperkenalkan Kerangka Transisi Berkeadilan, yang mengidentifikasi area sosial, ekonomi, dan lingkungan yang berdampak terhadap investasi JETP secara komprehensif. Kerangka ini mencakup sembilan standar yang didasarkan pada praktik terbaik safeguarding internasional:

  • Warisan budaya
  • Pemindahan dan pemukiman kembali
  • Komunitas lokal dan masyarakat adat
  • Ketenagakerjaan dan lingkungan kerja
  • Konservasi keanekaragaman hayati dan pengelolaan sumber daya alam berkelanjutan
  • Perubahan iklim dan risiko bencana
  • Kesehatan, keamanan, dan keselamatan masyarakat
  • Pencegahan polusi dan efisiensi sumber daya
  • Diversifikasi dan transformasi ekonomi

Standar ini ditopang oleh dua pilar utama: Tidak meninggalkan siapa pun di belakang (No one left behind) serta Keberlanjutan dan Ketahanan, yang berlandaskan nilai-nilai hak asasi manusia, kesetaraan gender dan pemberdayaan masyarakat, serta akuntabilitas. Pelaksanaan standar ini perlu dipantau di tingkat proyek dengan bantuan dari pemerintah daerah dan komunitas terdampak karena kewenangan Sekretariat JETP yang terbatas dan berfungsi lebih sebagai penghubung antara Pemerintah Indonesia dan 10 negara IPG dan GFANZ. Selain itu, perubahan kabinet memperumit kejelasan tugas dan fungsi yang sebelumnya dijalankan oleh Satuan Tugas Transisi Energi Nasional (SATGAS TEN) di bawah Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, yang kini sudah tidak ada.

Pada sesi kedua, Ida Wahyudah, Ketua GEDSI JET Working Group NTB, membahas integrasi perspektif GEDSI dalam transisi energi, dengan fokus pada lima sektor prioritas: rumah tangga, industri, komersial, transportasi, dan pertanian. Integrasi ini didukung oleh Peraturan Gubernur Nomor 13 dan 43 Tahun 2024, yang memperkuat peta jalan NTB menuju emisi nol pada 2050. Namun, Ida menyoroti bahwa kesenjangan pengetahuan dan ketersediaan data GEDSI masih menjadi tantangan signifikan baik di tingkat daerah maupun nasional.

Pada sesi terakhir, Catherine K. Winata dari Just Transition Working Group Sekretariat JETP, membahas peran pemerintah daerah dan komunitas dalam pelaksanaan proyek transisi energi berkeadilan. Diskusi ini mencakup draf sembilan standar Just Transition (JT) dan pembagian tanggung jawab terkait data yang relevan dengan pengawasan proyek transisi energi, yang melibatkan pemerintah, pengembang program, pemberi dana, sekretariat JETP, dan masyarakat sipil.

Peserta diskusi juga meninjau dan memberikan masukan terhadap sembilan standar yang diusulkan, guna memastikan standar tersebut mencerminkan aspek keadilan dan berpihak pada GEDSI dalam indikator-indikatornya.

Masyarakat sipil terus menyoroti lima prinsip keadilan yang harus dipenuhi dan ditegakkan:

  • Pengakuan: Mengakui kearifan masyarakat dalam menjaga lingkungan.
  • Prosedural: Melaksanakan kebijakan dari atas ke bawah secara partisipatif.
  • Distributif-korektif: Menegakkan hukum terhadap perusak lingkungan dan memulihkan kerusakan.
  • Restoratif: Menyelesaikan konflik sampai ke akar-akarnya.

Ke depan, peserta diskusi menilai bahwa jejaring multipihak yang ada dapat melanjutkan penerapan prinsip-prinsip keadilan dengan merumuskan indikator spesifik di tingkat mikro, sehingga memudahkan adopsi dan implementasinya hingga ke tingkat pemerintahan daerah.


Bagikan