Lebih dari 60% dari nilai perdagangan dunia dihasilkan dari transaksi yang berhubungan dengan perusahaan multi-nasional dengan menggunakan skema transfer pricing, yakni dengan cara mengalihkan laba perusahaan dari negara dengan tarif pajak tinggi ke negara dengan tarif pajak rendah. Baru-baru ini bahkan transfer pricing ditengarai menjadi siasat perusahaan dalam menghindari kewajiban pembayaran pajak terkait transaksi jual-beli. Terbaru, KPK membidik 51 perusahaan tambang batubara untuk membuka data kontrak penjualan periode 2017-2019.

Mengingat pentingnya memahami transfer pricing, PWYP Indonesia bekerja sama dengan Danny Darussalam Taxation Center (DDTC) menyelenggarakan pelatihan “Memahami Transfer Pricing bagi Masyarakat Sipil” sebagai bagian dari kegiatan PWYP Resource Center, (30/7) lalu. Pelatihan yang berlangsung di DDTC center ini, memaparkan tentang perencanaan pajak, penghindaran pajak, dan pengemplangan pajak; kondisi pajak internasional, perkembangan terbaru mengenai transparansi, hal-hal mendasar dari transfer pricing, studi kasus, dan bagaimana transfer pricing diaplikasikan di Indonesia.

Bawono Kristiaji, partner of tax research & training sevices DDTC yang menjadi narasumber dalam pelatihan ini memaparkan bahwa secara kesepakatan global, upaya untuk mencegah manipulasi transfer pricing dilakukan dengan mengimplementasikan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha atau Arm’s Length Principle yang harus salah satunya dibuktikan melalui dokumentasi transfer pricing.

Kedua hal tersebut, baik prinsip kewajaran maupun dokumentasi transfer pricing, telah diatur dalam ketentuan pajak di Indonesia. Tidak hanya itu, melalui Base Erosion and Profit Shifting (BEPS), OECD dan G20 telah mengajukan format baru dokumentasi Transfer Pricing (Action 13) yang terdiri atas 3 dokumen, yaitu local file, master file, dan Country by Country Reporting (CbCR). Local file menunjukkan transaksi yang dilakukan oleh wajib pajak. Master file memberikan gambaran usaha tentang grup usaha. Sedangkan country by country report memberikan data keuangan pajak seluruh anggota grup perusahaan di setiap negara.

Ferdian Yazid, Program Officer di Transparency International Indonesia, salah satu peserta pelatihan menyampaikan bahwa masyarakat sipil perlu memahami secara lebih komprehensif mengenai transfer pricing. Motif yang dilakukan perusahaan terkait transfer pricing ini banyak, jadi perlu dikaji lebih mendalam.

Selain itu, Ferdian juga menanggapi soal Country by Country Report (CbCR) yang saat ini hanya bisa diakses oleh otoritas pajak. Harapannya, CbCR ini juga bisa diakses oleh publik sehingga masyarakat sipil bisa ikut serta mengkaji apakah aktivitas transfer pricing tersebut wajar atau tidak.

Ambarsari Dwi Cahyani, salah satu Board PWYP Indonesia yang juga menjadi peserta dalam pelatihan ini menekankan bahwa tantangan ke depan makin besar. Di satu sisi pemahaman masyarakat sipil, atau Civil Society Organization (CSO) mengenai transfer pricing masih lemah, sedangkan sistem antar negara dinamis dan terus berubah. Sehingga masyarakat sipil perlu meningkatkan kapasitasnya, agar bisa terus mendorong good governance terkait perpajakan dari multi-national company.

Selain itu, yang perlu dicermati adalah hasil pengadilan pajak yang belum terbuka ke publik. Ke depan, masyarakat sipil perlu mendorong agar putusan pengadilan pajak dibuka ke publik, sehingga nanti muncul diskursus yang memperkaya pemahaman dan kajian tentang sengketa pajak.