Penggunaan energi fosil hingga saat ini mencapai 84% dari penggunaan energi global, menjadikannya sumber utama kebutuhan sehari-hari dan faktor pertumbuhan ekonomi. Di Indonesia, penggunaan energi fosil sendiri mencapai 92%. Sebagian kalangan menyebut hal ini telah memberikan dampak buruk terhadap perubahan iklim. Karena perubahan iklim tersebut, sejumlah krisis bermunculan seperti cuaca ekstrem, peningkatan penyakit, degradasi keanekaragaman hayati, serta penurunan produksi pangan. Oleh karena itu, dibutuhkan terobosan kebijakan dengan transisi energi terbarukan yang lebih bersih.

Jannata Giwangkara, Manager Program Transformasi Energi Institute for Essential Service Reform (IESR) memberikan pemaparannya dalam Workshop PWYP Indonesia bertajuk “Memahami Isu Transisi Energi dan Perkembangannya Kini” pada Selasa (22/12/2020). Menurutnya, energi yang dimaksud adalah energi yang dapat diperbarui dalam waktu singkat tanpa mengeluarkan efek gas rumah kaca. Pemanfaatan energi terbarukan ini meliputi energi air, energi panas bumi, energi biomassa, energi bayu, energi surya, dan energi laut.

Data menunjukkan dalam 167 tahun terakhir, emisi gas rumah kaca global dari sektor energi telah mengalami kenaikan 129 kali lipat dengan rata-rata didominasi oleh energi fosil. Berdasarkan data pengukuran temperatur global, terlihat bahwa median temperatur bumi mengalami peningkatan sebesar 1-1,2 °C. Karenanya, pengurangan emisi gas rumah kaca harus dilakukan sedini mungkin. Emisi gas rumah kaca tersebut harus diturunkan lebih awal ke angka net-zero, agar dapat mencapai 1,5 °C pada tahun 2050.

Adapun skenario pengembangan transisi energi bersih dan terbarukan tumbuh secara eksponensial seiring dengannya peningkatan elektrifikasi dalam kurun waktu hampir satu dekade terakhir. Meningkatnya inovasi teknologi serta para aktor yang tertarik untuk berinvestasi pada sektor ini juga membuat jumlah permintaan di pasar semakin meningkat, Investasi energi terbarukan tercatat mengalami penurunan dari 29% menjadi 82%. Menurut Egi, sapaan Jannata Giwangkara, penurunan yang signifikan ini akan membuat posisi tawar energi terbarukan di masa depan menjadi setara dengan energi fosil.
Di sisi lain, upaya transisi menuju energi bersih juga telah dipercepat ke sistem energi rendah (bahkan nil). Sejak Lockdown diterapkan karena pandemi COVID-19, tingkat mobilitas masyarakat mengalami penurunan tajam hingga ke titik yang belum pernah terjadi sebelumnya. Hal tersebut memicu penurunan kebutuhan listrik harian setidaknya sebesar 15% di Prancis, India, Italia, Spanyol, Inggris Raya, dan bagian barat laut AS.

Egi juga menunjukkan negara-negara dengan kapasitas terpasang transisi energi di mana China, Eropa, dan AS mendominasi tiga pemasang teratas selama dekade terakhir, diikuti India sebagai yang keempat. Selain itu, data Energy Transition Index oleh World Economic Forum menunjukkan Swedia, Swiss, dan Finlandia mendominasi peringkat atas dengan mendapatkan skor tertinggi dalam hal kemajuan pertumbuhan energi terbarukan dibandingkan 115 negara lainnya. Ia juga menambahkan kemajuan transisi energi di negara-negara ASEAN di mana Singapura, Malaysia, dan Thailand dianggap sebagai negara terdepan dalam ukuran indeks ini, sementara Filipina, Vietnam, dan Indonesia masih mengalami tantangan kemajuan.

Indonesia yang berada di peringkat 70 dari 115 perlu melakukan akselerasi transisi ke arah pemanfaatan energi bersih dan terbarukan. Pasalnya, Indonesia dianggap memiliki potensi besar dalam mengimplementasikan energi terbarukan sebesar 442,4 Gigawatt (GW). Sayangnya, potensi ini baru dimanfaatkan 10,3 GW atau 2% saja. Egi memperkirakan jumlah lapangan kerja sektor energi terbarukan di Indonesia juga berpotensi meningkat hingga 1.721.435 pekerja untuk dekade mendatang.

Demi mengejar ketertinggalan tersebut, pemerintah Indonesia perlu merevisi sejumlah kebijakan dan meningkatkan komitmennya dalam menyesuaikan agenda bersama tersebut lewat berbagai cara, antara lain berkoordinasi dan bekerjasama dengan stakeholders dan lembaga terkait, menciptakan lingkungan investasi yang baik bagi investor, melibatkan kelompok masyarakat atau komunitas, serta membangun pemerintahan yang inklusif, demokratis dan transparan. Di sisi lain, upaya memperluas kesadaran akan pentingnya melakukan transisi energi juga penting ditingkatkan baik di dalam pemerintahan maupun publik secara luas. (esn)