Pembangunan di Indonesia secara umum diklasifikasikan menjadi pembangunan nasional dan pembangunan daerah. Keduanya merupakan bagian integral yang saling terkait. Meskipun pembangunan daerah dilaksanakan sesuai dengan kondisi dan kebutuhan nyata daerah, akan tetapi tetap dalam koridor Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan tetap mengedepankan keselarasan, konsistensi dan sinergitas dengan kebijakan Pembangunan Nasional.

Majunya perekonomian di banyak daerah merupakan sinyal baik bagi target pembangunan nasional. Untuk mewujudkan hal tersebut, dibutuhkan upaya kolaboratif yang sinergis antara pusat, daerah, masyarakat sipil serta stakeholder terkait lainnya dalam mewujudkan cita-cita pembangunan dalam rangka pemenuhan kesejahteraan masyarakat.

Dengan semangat kolaborasi tersebut, pada t23-25 November 2020, Publish What You Pay (PWYP) Indonesia bekerja sama dengan Ditjen Bangda Kemendagri menyelenggarakan workshop bertajuk “Memahami Indikator Makro-Ekonomi Pembangunan Nasional”.

Eka Chandra Buana dari Kementerian PPN/Bappenas menyampaikan target besar pembangunan Indonesia untuk menempati posisi PDB terbesar ke-5 di dunia pada tahun 2045, dan Indonesia dapat keluar dari middle income trap. Eka Chandra juga menyampaikan sasaran pembangunan Indonesia 2020-2024 yang meliputi pertumbuhan ekonomi (5,4-6,0%), tingkat kemiskinan (6,5-7,0%), gini rasio (0,36-0,374%), tingkat pengangguran terbuka (4,0-4,6%), indeks pembangunan manusia (75,54%), dan penurunan emisi gas rumah kaca (27,3%).

Dalam mengejar target tersebut, dibutuhkan pertumbuhan ekonomi yang merata di daerah. Seluruh kawasan tidak boleh luput, termasuk kawasan timur Indonesia, sehingga pembangunan tidak hanya berpusat pada Jawa dan Sumatera. Transformasi ekonomi menjadi kunci dalam meningkatkan industri perekonomian. Meskipun tantangan pertumbuhan ekonomi -5,3% di tengah pandemi namun Bappenas tidak berniat untuk mengubah RPJMN karena akan berdampak pada sasaran Rencana Kerja Pemerintah (RKP) tahunan. Bappenas memilih memprioritaskan penanganan pemulihan ekonomi dan kesehatan dan membutuhkan bantuan berbagai pihak.

Wisnu Winardi dari Badan Pusat Statistik (BPS) mengulas secara lebih spesifik mengenai perhitungan indikator makro-ekonomi pembangunan. Ia mengenalkan tiga jenis statistik dalam UU Nomor 16 Tahun 1997 tentang Statistik yakni: statistik dasar mencakup Produk Domestik (Regional) Bruto (PDB/PDRB), pertumbuhan ekonomi, inflasi, tingkat pengangguran, tingkat kemiskinan, IPM, dan sebagainya. Statistik sektoral, misalnya jumlah puskesmas, jumlah: bidang, dokter, guru, murid, dll.an statistik khusus yang dikumpulkan oleh BPS maupun kementerian/lembaga/OPD untuk keperluan khusus.

Dalam kegiatan tersebut, Wisnu memfokuskan pada pembahasan indikator Produk Domestik Bruto/Gross Domestic Product. Dua faktor utamanya adalah harga dan volume. PDB terbagi dua yakni PDB atas harga berlaku/nominal yang memperhitungkan nilai barang jasa pada periode berjalan dan PDB atas dasar harga konstan/rill (ADHK) yang menggunakan penghitungan pada periode tertentu (tahun dasar). Selanjutnya, PDB harga berlaku bertujuan untuk menghitung pertumbuhan ekonomi, sedangkan PDB riil dilakukan untuk membuat perbandingan antar waktu. Selain itu, ia juga menekankan bahwa PDB hanya mencatat barang dan jasa yang dikonsumsi atau arus ekonomi yang bersifat transaksi, sehingga PDB tidak bisa mencatat bantuan dana.

Said Ali, perwakilan lain dari BPS, menyampaikan tentang Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Penghitungan IPM terdiri dari 3 (tiga) komponen utama yakni kesehatan, pendidikan, dan pengeluaran. Menurutnya, metode IPM yang digunakan di Indonesia dapat mengukur kebijakan fiskal dan kinerja kepala daerah. Said Ali juga menyampaikan bagaimana cara meningkatkan IPM berdasarkan komponen pengukurnya. Misalnya cara meningkatkan Usia Harapan Hidup yang merupakan bagian dari komponen kesehatan adalah dengan menekan angka kematian bayi serta membenahi faktor-faktor pendukungnya baik dari sisi jumlah dan persebaran tenaga medis, sanitasi, imunisasi, air bersih, dan sebagainya. Begitu juga dengan aspek pendidikan maka yang perlu menjadi perhatian adalah rasio guru dengan murid, fasilitas belajar, menghitung apakah anak siap untuk mengikuti jenjang pendidikan selanjutnya, dan faktor-faktor terkait lainnya.

Dalam workshop tersebut, juga dijelaskan mengenai perbedaan penekanan tugas dan fungsi antar lembaga. Misalnya antara Bappenas dan BPS sama-sama memegang aspek ekonomi makro, namun memiliki penekanan fungsi yang berbeda. Bappenas dapat memproyeksikan melalui data yang diambil dari BPS, sementara BPS memiliki tugas pokok yakni mempersiapkan data tersebut namun tidak memiliki wewenang untuk melakukan proyeksi. Selain itu, BPS hanya berwenang untuk menampilkan data makro seperti mengenai sejauh mana kemajuan masyarakat pada waktu tertentu, sementara data mikro seperti by name by address yang biasanya bertujuan untuk pendataan program pengentasan kemiskinan menjadi ranah Kementerian sosial.

Robert Na Endi Jaweng, Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) mengenalkan beberapa pendekatan dan model ideal dari pembangunan nasional diantaranya pendekatan intra-state relationship, dimana pentingnya interaksi negara dan masyarakat dalam keberhasilan pembangunan Ia menyebutkan pentingnya proses partisipatif bottom up agar merepresentasikan kebutuhan masyarakat. Selain itu, ia juga mengingatkan bahwa bobot terbesar ada pada desentralisasi ekonomi, jangan sampai kita hanya berkutat pada bidang politik dan fiskalnya saja, sehingga kurang memperhatikan aspek ekonomi lainnya.

Berly Martawardaya, pengajar Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Indonesia (UI) sekaligus peneliti senior INDEF menyampaikan metode penghitungan GDP/PDB dari sisi pendapatan dan pengeluaran. Negara maju banyak menggunakan metode pendapatan, sementara negara berkembang seperti di Indonesia menggunakan metode penghitungan dari sisi pengeluaran.

Workshop ini memberikan cukup pengetahuan serta wawasan yang luas dan mudah dipahami sebagai perkenalan awal terkait indikator makro-ekonomi pembangunan. Tindak lanjut kedepannya adalah bagaimana menurunkan indikator-indikator makro tersebut dan menghubungkannya dengan persoalan di sektor ESDM yang akan menjadi rencana kegiatan selanjutnya bersama Ditjen Bangda Kemendagri.

**Untuk membaca pemaparan narasumber yang lebih lengkap kami memiliki laporan pelatihan yang dapat diunduh melalui link berikut: Unduh Laporan

Penulis: Wicitra & Meliana Lumbantoruan
Editor: Aryanto Nugroho