Di tahun 2016 Panama Papers mengungkap nama-nama pejabat publik dan pemimpin dunia, termasuk 1038 wajib pajak asal Indonesia, yang menunjukkan bahwa korporasi bisa dijadikan sebagai alat untuk pencucian uang lintas negara. Di sisi lain, dari sekitar Rp.1.387 triliun uang yang beredar di sektor pertambangan, hanya sekitar Rp. 96,9 triliun yang dapat ditarik pajaknya.[1]
Karenanya menjadi penting untuk mengenal beneficial ownership atau penerima manfaat sesungguhnya dan mendorong adanya transparansi beneficial ownership. PWYP Indonesia, 20-21/2 lalu menyelenggarakan pelatihan “Memahami Beneficial Ownership dan Pemetaan Kepemilikan Korporasi di Sektor Sumber Daya Alam”, sebagai instrumen yang digunakan dalam advokasi masyarakat sipil.
Isnu Yuana, Spesialis Hukum Senior PPATK, memaparkan bahwa manfaat dari transparansi BO adalah untuk melindungi korporasi dan pemilik manfaat yang beritikad baik, memberikan kepastian hukum atas pertanggung jawaban pidana, dan untuk mengoptimalkan pengembalian aset.
Menurutnya, Indonesia saat ini sudah mempunyai regulasi yang mendorong transparansi beneficial ownership yaitu Peraturan Presiden (Perpres) nomor 13/2018 tentang Penerapan Prinsip Mengenali Pemilik Manfaat dari Korporasi dalam Rangka Pencegahan dan Tindak Pidana Pencucian Uang dan Tindak Pidana Terorisme. Perpres ini mencakup proses identifikasi, verifikasi, pelaporan, pengkinian, pengawasan, penegakan hukum, dan kerja sama antar instansi dalam mewujudkan transparansi penerima manfaat.
Isnu kemudian menjelaskan tentang kualifikasi umum seorang beneficial owner yaitu orang perseorangan yang dapat menunjuk atau memberhentikan direksi, dewan komisaris, pengurus, pembina, atau pengawas pada korporasi; memiliki kemampuan untuk mengendalikan korporasi; berhak atas dan/atau menerima manfaat dari korporasi baik langsung maupun tidak langsung; dan atau merupakan pemilik sebenarnya dari dana, atau saham korporasi.
Sedangkan kualifikasi tertentu seorang beneficial owner, yaitu orang perseorangan yang dapat memenuhi kriteria yang dimaksud dalam Perpres nomor 13/2018 yaitu: memiliki saham lebih dari 25% pada korporasi sebagaimana tercantum dalam anggaran dasar, memiliki hak suara lebih dari 25% pada korporasi sebagaimana tercantum dalam anggaran dasar, menerima keuntungan atau laba lebih dari 25% dari keuntungan atau laba yang diperoleh korporasi, memiliki kewenangan untuk mengangkat, menggantikan, atau memberhentikan anggota direksi dan anggota dewan komisaris, menerima manfaat dari korporasi, dan merupakan pemilik sebenarnya dari kepemilikan korporasi.
Menurut Bagus Prasetyawan, tim perundang-undangan Ditjen Minerba Kementerian ESDM, mengatakan bahwa di lingkungan kementerian ESDM sendiri sebetulnya sudah terbit beberapa kebijakan yang sudah sejalan dengan Perpres nomor 13 tahun 2018 tentang Transparansi Beneficial Ownership.
“Sebelum terbitnya Perpres No 13/2018, sebetulnya Kementerian ESDM sudah menerbitkan Permen ESDM no 48/2017 tentang Pengawasan Pengusahaan di Sektor Energi dan Sumber Daya Mineral, disertai Surat Edaran Dirjen Minerba No 16.E/30/DJB/2017 yang mewajibkan perusahaan mendeklarasikan siapa Beneficial Ownership-nya, saat melakukan permohonan rekomendasi perubahan saham, perubahan diresksi, dan komisaris,” papar Bagus.
Pasca deregulasi, Kementerian ESDM menerbitkan regulasi yang mensyaratkan pengungkapan BO dalam seluruh perizinan di sektor tambang termasuk penerbitan dan perpanjangan izin, maupun lelang WIUP/WIUPK (Wilayah Izin Usaha Pertambangan/Khusus).
“Pengungkapan BO ini sudah berjalan di Kementerian ESDM, hanya saja masih terbatas untuk izin yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat. Untuk izin-izin yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah, kami masih mendorong pemda untuk segera mengimplementasikannya,” ujar Bagus.
Emanuel Bria, Indonesia Country Manager NRGI, menyampaikan bahwa peraturan presiden nomor 13/2018 memandatkan pengungkapan nama-nama beneficial owner. Sedangkan nama-nama yang didaftarkan di AHU biasanya adalah legal owner atau nomineenya saja. “Jadi perlu dipastikan nama-nama yang dipublikasikan adalah beneficial owner, bukan sebatas legal owner atau nominee-nya saja,” ujar Emanuel Bria.
Isnu Yuana mengakui bahwa pekerjaan rumah lain setelah adanya pelaporan beneficial ownership oleh perusahaan adalah bagaimana memverifikasinya. Dalam hal verifikasi, Indonesia banyak mengadopsi praktik di Inggris. Selain itu, juga menggunakan berbagai informasi dari berbagai sumber, untuk check dan recheck data BO tersebut.
Salah satu persoalan lain terkait beneficial ownership di Indonesia adalah akses publik terhadap informasi BO. Perpres 13/2018 menyebutkan bahwa keterbukaan informasi BO dijalankan sesuai dengan kerangka UU Keterbukaan Informasi Publik (KIP). Menurut Bagus, Kementerian ESDM, sampai saat ini belum ada permohonan informasi BO dari masyarakat. “Setelah ada permohonan informasi dari publik, baru kami akan kaji dulu, dan tindak lanjut sesuai UU KIP,” ujarnya.
Sementara itu, membuka data BO ke publik luas menjadi salah satu ‘tuntutan’ dalam standar Extractive Industry Transparency Initiative (EITI) 2016. Untuk memenuhi standar tersebut, Pemerintah sudah menyusun roadmap transparansi Beneficial Ownership, yang mana Indonesia selaku negara anggota Extractive Industry Transparency Initiative (EITI) akan mempublikasikan nama, domisili, dan kewarganegaraan pemilik perusahaan ekstraktif di tahun 2020. Namun, dalam laporan EITI yang terbaru (laporan tahun 2016), perusahaan pelapor EITI telah mencantumkan nama-nama beneficial owner-nya.
Isu yang juga mengemuka dalam diskusi adalah kepemilikan bisnis oleh pejabat publik yang berpotensi menyebabkan konflik kepentingan. Niko Ruru, Sekretaris Perkumpulan Lintas Hijau Kaltara, menanyakan tentang kebijakan yang melarang pejabat publik untuk berbisnis dan menjadi BO di sebuah perusahaan. Menanggapi hal ini, Isnu Yuana, mengatakan bahwa memang tidak ada aturan khusus yang mengatur tentang ini. Namun, OJK, BI, dan PPATK biasanya memberi perhatian khusus pada Politically Exposed Person (PEP) yang dikategorikan sebagai nasabah berisiko tinggi.
[1] Data BPS, BI, dan DJP, tahun 2014.