Foto: Indah Surya Wardhani (PoLGOV UGM) menyampaikan kajian pembelajaran Akuntabilitas Sosial di Provinsi Aceh, Kalimantan Timur dan Sulawesi Tenggara.

Publish What You Pay (PWYP) Indonesia mendorong pendekatan akuntabilitas sosial kolaboratif melalui pengembangan multi-stake holders forum (MSF) atau forum multi pihak menjadi salah satu alternatif solusi atas konflik tata kelola pertambangan. Forum multi pihak dapat menjadi modal awal penyelesaian masalah. Sekaligus dapat membuka ruang partisipasi dan dialog dengan ragam kelompok pemangku kepentingan.

PWYP Indonesia berkolaborasi dengan Research Centre for Politics and Government (PolGov) Universitas Gadjah Mada (UGM) menggelar Sharing Session bertajuk “Mendorong Akuntabilitas Sosial Kolaboratif di Sektor Mineral dan Batubara”. Sekitar 80 peserta yang berasal dari pemerintah pusat/daerah, pelaku usaha, dan masyarakat berkenan duduk bersama dalam acara yang diselenggarakan secara hybrid dari Auditorium Fisipol UGM pada Jumat, 28 Januari 2022.

Indah Surya Wardhani, peneliti PolGov UGM menyampaikan hasil case study pembelajaran membangun transparansi dan partisipasi di tiga provinsi Aceh, Kalimantan Timur (Kaltim), dan Sulawesi Tengggara (Sultra). Pendekatan MSF didorong sejumlah organisasi masyarakat sipil di tiga daerah tersebut. Di Aceh, GeRAK mendorong implementasi Qanun Kabupaten Nagan Raya Nomor 6 Tahun 2019 tentang Tanggung Jawab Sosial Perusahaan, terutama aspek transparansi dan partisipasi publik. Di Kaltim, Pokja-30 mendorong rancangan Perda untuk memprioritaskan Dana Bagi Hasil (DBH) bagi warga lingkar tambang. Sedangkan di Sultra, LePMIL mendorong terbentuknya community center sebagai embrio MSF di tingkat desa yang bergeografis kepulauan.

Yusnita Ike Christanti, peneliti Perkumpulan Ide dan Analitika Indonsia (IDEA) juga memaparkan hasil kajiannya bersama Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta. Topik yang mereka angkat adalah isu gender pada tambang pasir di Kulon Progo Yogyakarta. Hasil risetnya memperlihatkan minimnya keterlibatan perempuan dalam forum pengelolaan tambang di daerahnya yang dapat menimbulkan distorsi informasi. Padahal perempuan merupakan pihak yang paling rentan terdampak, yang seharusnya diperhatikan hak suaranya.

Pegiat Pokja-30 Samarinda, Oky Sjarifuddin Adam berharap MSF dapat terlembaga. “Menurut saya yang menarik adalah kalau kemudian MSF ini dilembagakan mungkin jadi cerita lain, dilembagakan dalam artian dibentuk regulasi entah yang menyusun pusat entah provinsi atau kabupaten tergantung kebutuhan dan harus melihat UU-nya lagi yang di atas. Kalau dilembagakan akan jauh lebih punya dorongan, lebih punya power.” katanya.

Upaya mendorong pengembangan dan penguatan MSF terus didorong oleh PWYP Indonesia melalui Program Akuntabilitas Sosial Sektor Pertambangan (GPSA-PWYP Indonesia) bersama mitra pelaksana. Kurang lebih 13 kali dalam satu tahun, dilakukan MSF di tiga daerah yang merupakan daerah penghasil/kaya akan sumber daya mineral dan batubara. Tema diskusi yang dikembangkan beragam dan konteksual terkait tata kelola di aspek perizinan dan pengelolaan pendapatan pertambangan, dengan melibatkan ragam pemangku kepentingan.

Perwakilan stakeholder cukup konsisten terlibat dalam MSF, baik pemerintah, warga, maupun perwakilan pengusaha tambang. Meskipun terdapat tantangan menghadirkan perusahaan lokal/pemilik tambang daerah terkait. Namun, MSF mendapat dukungan dari asosiasi ahli dan perusahaan seperti Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (PERHAPI) dan Asosiasi Pertambangan Batubara Indoensia (APBI) yang menyatakan dukungan dan komitmennya terhadap praktik baik tata kelola. Mereka juga menyayangkan sikap sejumlah perusahaan yang tidak menunjukkan kepatuhan dan memberi dampak citra buruk industri tambang.

Penulis: WD, Reviewer: SP, AN