Jakarta-sejumlah masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi Anti Mafia Tambang menyampaikan aspirasi mereka terkait permasalahan tata kelola minerba pada Koordinasi dan Supervisi KPK di Sektor Sumber Daya Alam, yang berlangsung di Manggala Wana Bakti (22/4). Koalisi Anti Mafia Tambang ini terdiri dari Akar Foundation, WALHI Bengkulu, Genesis Bengkulu, WALHI Lampung, WATALA, dan PATTIRO Banten, PWYP Indonesia, Auriga, ICW, TUK, SPKS, JATAM Nasional, Seknas WALHI, RMI.

Koordinasi dan supervisi (Korsup) KPK merupakan pengawasan dan pencegahan korupsi melalui skema kegiatan koordinasi dan supervisi dalam menyelamatkan sumber daya alam, khususnya sektor pertambangan, hutan, kebun, dan kelautan. Korsup KPK tahap pertama berlangsung di 12 provinsi telah dimulai sejak awal tahun 2014, dan dilanjutkan dengan Korsup KPK tahap 2 di 19 provinsi yang dimulai sejak Desember 2014.

Dalam Korsup KPK ini dihadiri oleh Gubernur, Bupati di Provinsi Bengkulu, Banten, dan Lampung serta SKPD terkait. Gubernur atau perwakilannya dalam acara ini berkesempatan menjelaskan kemajuan korsup KPK di masing-masing provinsi. Masyarakat sipil pun mendapat kesempatan untuk menyampaikan temuan-temuan di lapangan.

“Sebanyak 129.654,04 Ha kawasan hutan lindung dan konservasi di 3 Provinsi (Bengkulu, Lampung, dan Banten) telah terbebani izin pertambangan. Berdasar data Dirjen Planologi Kementrian Kehutanan, sebanyak 123.693,74 hektar wilayah tambang yang masuk di kawasan hutan lindung, dengan total IUP sebanyak 34 unit (2 Kontrak Karya dan 32 Izin Usaha Pertambangan). Serta terdapat 5.960,3 ha wilayah pertambangan yang masuk hutan konservasi yang terdiri dari 31 izin tambang (1 KK, 30 IUP).” papar Satria perwakilan dari Akar Foundation Bengkulu.

“Padahal, penggunaan kawasan hutan konservasi untuk kegiatan non kehutanan jelas melanggar aturan UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, dan UU No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati,” Satria menambahkan.

“Terkait perizinan rata-rata hampir 50% IUP di 3 Provinsi masih berstatus non-CnC (Clear and Clean). Besarnya jumlah IUP yang masih non-CNC ini menunjukkan bahwa masih maraknya pelanggaran yang dalam menjalankan usaha pertambangan. Serta pemerintah daerah dan pusat selaku pemberi izin masih lemah dalam memberikan sanksi atau tindakan hukum kepada pemegang IUP yang non-CNC.” Menurut Alian Setiadi dari WALHI Lampung.

Sengkarut tambang ini juga memberikan dampak negatif terhadap lingkungan. Sony Taurus perwakilan Walhi Bengkulu menyampaikan, “aktivitas tambang batu bara di Bengkulu mengakibatkan kerusakan pada Daerah Aliran Sungai (DAS) yaitu daerah tangkapan air Sungai Bengkulu dan Sungai Kerkap, sehingga warga tidak bisa memanfaatkan air ini untuk irigasi sawah, mandi, mencuci, dan minum. Kerusakan lingkungan ini juga mengakibatkan terganggunya habitat hewan liar, bahkan 2 penduduk di sekitar hutan menjadi korban yang diserang harimau.”

Para penambang juga belum serius dalam menjaga kelestarian lingkungan. 98% pemegang izin pertambangan di 3 provinsi belum memiliki jaminan reklamasi dan hampir 100% belum memiliki jaminan pasca tambang. Minimnya IUP yang memenuhi kewajiban jaminan reklamasi dan paska tambang, menunjukkan bahwa komitmen dan pengawasan pemerintah daerah dan pusat dalam pemulihan lingkungan pertambangan sangat rendah.

Eko Sulistiantoro dari Watala Lampung menyoroti aktivitas penyedotan pasir hitam Gunung Anak Krakatau yang berkedok mitigasi bencana. Pasir dari wilayah ini mempunyai kualitas terbaik, dan membuat perusahaan mulai melakukan eksplorasi berupa penyedotan pasir hitam berkedok penelitian. Pengerukan ini sudah dimulai sejak tahun 2009, dan diduga dilegalkan oleh Pemkab Lampung Selatan. Walhi Lampung mendesak Perda No. 11/2014 tentang Mitigasi Regional Bencana Geologi di wilayah Lampung Selatan untuk dicabut, karena bertentangan dengan ketentuan UU No. 5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem.

Koalisi Anti Mafia tambang juga menyampaikan hasil perhitungan potensi kerugian negara/potential lost dari iuran land rent, mengacu pada PP no. 9/2012 tentang tarif dan jenis PNBP. Aryanto Nugroho, advocacy and network manager PWYP Indonesia, menyampaikan bahwa sejak tahun 2010-2013 diperkirakan potensi kehilangan penerimaan mencapai Rp 25,05 M di Bengkulu, Rp. 10,46 M di Lampung, dan Rp. 5,35 M di Banten.

Dalam Korsup KPK ini, Koalisi Anti Mafia Tambang merekomendasikan agar pemerintah mencabut izin pertambangan yang berada di kawasan hutan lindung dan konservasi, dan izin-izin yang tidak CnC. Juga menuntut pemerintah mempublikasikan izin yang sudah dicabut, agar masyarakat bisa melakukan pengawasan. Meminta pemerintah mengakomodir aspek keselamtaan warga dan lingkungan hidup dalam penertiban, penataan izin, dan penegakan hukum. Serta KPK diminta untuk mengembangkan penyisikan atas teman dari potensi kerugian negara dari iuran land rent dan royalti.


Bagikan