Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) dan PWYP Indonesia melakukan audiensi dengan Tim Reformasi Tata Kelola Migas (TRTKM) yang berkantor di Plaju, Jakarta Selatan. Dalam pertemuan ini, masyarakat sipil menyampaikan beberapa hal yang melandasi perlunya revisi terhadap UU No 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (Migas).

Dalam audiensi itu wakil masyarakat sipil mengemukakan sejumlah alasan dari urgensi revisi terhadap UU migas ini yaitu, Pertama, bahwa UU 22/2001 ini telah melahirkan lembaga baru bernama BP Migas yang berstatus BHMN, sehingga dengan status ini BP Migas tidak bisa melakukan kegiatan bisnis. Kedua, UU ini menyebabkan salah kelola sumber daya alam Indonesia yang menyebabkan kegagalan dalam menjadikan industri migas sebagai penyangga ketahanan energi nasional. Indikasi dari salah kelola ini adalah: tidak adanya roadmappengelolaan dan pemanfaatan migas, adanya mafia migas, dan inefisiensi biaya operasional (cost recovery). Ketiga, Kebijakan energi nasional yang cenderung sektoral dan hanya berorientasi pada aspek pendapatan, bukan pada ketahanan nasional di bidang energi. Keempat, UU ini melupakan kegiatan hilir dan cenderung pada kegiatan hulu migas.

Oleh karenanya, dalam audiensi itu perwakilan ICEL dan PWYP Indonesia mengusulkan sejumlah materi pengaturan revisi UU Migas versi masyarakat sipil yang berisi pengaturan-pengaturan dalam menjawab permasalahan UU 22/2001. Juga mensinergikan dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, prinsip transparansi dan partisipasi.

Adapun usulan terkait perencanaan pengelolaan migas yang diusulkan yaitu: pertama, pendekatan secara komprehensif kegiatan hulu dan hilir. Kedua, sinkronisasi berbagai rencana kebijakan pemerintah terkait dengan pemenuhan kebutuhan energi nasional. Ketiga, penyelarasan kebijakan pemanfaatan dan pengelolaan migas dengan kebijakan di sektor lingkungan hidup, tata ruang, pertanahan.

Kemudian, usulan mengenai fungsi pengaturan yang meliputi penyusunan regulasi dan peraturan perundang-undangan serta pemberian izin. Serta terkait fungsi pengelolaan yang harus dilakukan oleh BUMN. Terkait fungsi pengawas, badan pengawas sebaiknya beranggotakan lima orang yang mewakili unsur pemerintah, BUMN badan pengelola/badan usaha, masyarakat sipil, akademisi, dan dunia usaha.

Selanjutnya, perlu adanya petroleum fund. Melalui petroleum fund dana dari penerimaan migas disisihkan dan dikelola secara akuntabel untuk kemandirian dan ketahanan energi. Petroleum fund bertujuan untuk pengalihan energi fosil ke energi bersih dan terbarukan, untuk pembangunan infrastruktur migas seperti kilang (refinery), jaringan distribusi gas bumi, terminal gas alam cair dan lainnya, serta kegiatan yang berkaitan dengan pencarian cadangan migas baru.

Lebih lanjut, penting adanya ketentuan Domestic Market Obligation (DMO) harus diprioritaskan untuk memenuhi kebutuhan migas dalam negeri, dan besaran DMO ditetapkan oleh pemerintah lima tahun sekali dengan memperhatikan pertimbangan DPR.