BALIKPAPAN, KOMPAS — Pertambangan ilegal terjadi menahun dan tak kunjung usai di Kalimantan Timur. Untuk menyelesaikan kejahatan lingkungan tersebut, butuh komitmen pemerintah, penegak hukum, dan kolaborasi banyak pihak.
Hal itu menjadi topik pembahasan dalam diskusi daring bertajuk ”Forum Multipihak: Pertambangan Batubara Tanpa Izin, Bagaimana Solusinya?”. Kegiatan itu diselenggarakan Pokja 30, Publish What You Pay (PWYP) Indonesia, dan Global Partnership for Social Accountability pada Kamis (23/12/2021).
Salah satu pembicara, Dinamisator Jaringan Advokasi Tambang Kaltim Pradarma Rupang, menyebutkan, pihaknya mendata, sepanjang 2018-2021 ada 151 titik tambang batubara ilegal di Kaltim. Terbanyak ada di Kutai Kartanegara, yakni 107 titik. Selebihnya tersebar di Samarinda, Berau, dan Penajam Paser Utara.
Pada 2020, Jatam Kaltim melaporkan 16 titik kasus dugaan tambang ilegal ke Polda Kaltim. Pada 2021, ada tiga laporan yang dilayangkan ke kepolisian. ”Namun, sampai hari ini tidak ada surat pemberitahuan perkembangan hasil penyidikan (SP2HP) yang masuk ke Jatam Kaltim,” ujar Rupang.
Forum tersebut mengundang berbagai pihak yang berkaitan dengan penegakan hukum pertambangan di Kalimantan Timur. Namun, perwakilan Polda Kaltim tak hadir sehingga tak bisa dikonfirmasi terkait perkembangan laporan tersebut.
Aryanto Nugroho dari PWYP Indonesia menyebutkan, pertambangan tanpa izin ini merupakan problem klasik yang menahun dan terus berulang. Namun, sampai saat ini belum ada titik terang penyelesaiannya.
Dalam bisnis ilegal tersebut, kata Aryanto, juga banyak pihak yang turut serta, seperti penyedia alat, pemilik lahan, pemodal, hingga keamanan. ”Penyelesaiannya harus lebih holistik dari hulu ke hilir,” katanya.
Diskusi daring itu dihadiri Direktur Penegakan Hukum Pidana Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Yazid Nurhuda. Ia menyebutkan, sepanjang 2016-2021, penegakan hukum pertambangan ilegal yang diproses pihaknya di Kalimantan terus berlangsung.
Pada periode itu, di Kalimantan ada 30 kasus yang sudah berstatus P-21 atau penyidikannya telah lengkap. Adapun 9 kasus masih dalam penyidikan dan penyelidikan. Selebihnya, ada 20 kasus yang masih ditangani.
”Kendala di lapangan itu banyak terkait pertambangan tanpa izin. Kegiatan yang terkait dengan masyarakat penegakan hukumnya tidak efektif. Itu hanya untuk shock therapy. Mestinya itu ditindaklanjuti di bidang pengawasan hingga perizinan oleh kita yang memiliki kewenangan supaya ada efek jeranya,” kata Yazid.
Perwakilan dari KLHK ada di Samarinda, yakni Balai Gakkum, yang melingkupi wilayah kerja di seluruh Kalimantan. Menurut Yazid, sumber daya manusia di balai itu sangat terbatas untuk menjangkau wilayah yang sangat luas. Untuk itu, perlu ada kolaborasi banyak pihak guna menyelesaikan dari hulu persoalan ini.
Dengan luas wilayah Kaltim sekitar 129.000 kilometer persegi, pengawasan dengan kolaborasi dari banyak pihak diperlukan.
”Tidak hanya dari aparat penegak hukum, tetapi juga instansi pemerintah dari pusat hingga daerah dan juga teman-teman dari organisasi nonpemerintah (NGO),” katanya.
Kepala Bidang Mineral dan Batubara Dinas ESDM Kaltim Azwar Busra sepakat dengan ide tersebut. Menurut dia, pertambangan tanpa izin di Kalimantan Timur banyak jenisnya. Ada yang di dalam wilayah konsesi tambang, ada pula yang di luar konsesi.
Dengan luas wilayah Kaltim sekitar 129.000 kilometer persegi, pengawasan dengan kolaborasi dari banyak pihak diperlukan. ”Harapan kami, terbentuk satuan tugas lebih spesifik di tingkat provinsi yang melibatkan pemangku kepentingan terkait, seperti NGO, polisi, Dinas dan Kementerian ESDM, dan lain-lain,” ujar Azwar.
Diskusi tersebut belum memutuskan kolaborasi multipihak macam apa yang akan dibentuk. Perwakilan dari pemerintah daerah dan pusat masih akan mengomunikasikan dengan pimpinan masing-masing.
Rupang menyatakan, pemahaman pemda terkait penanganan tambang ilegal juga perlu diluruskan. Meskipun tak memiliki wewenang memberi izin pertambangan, pemerintah daerah diminta turut berperan memerangi tambang ilegal dan perusahaan tambang yang melanggar peraturan di Kalimantan Timur.
Sebelumnya, Kepala Biro Administrasi Pimpinan Pemprov Kaltim M Syafranuddin, melalui rilis resmi, mengatakan, semua izin termasuk pengawasan atau penindakan terkait pertambangan berada di pemerintah pusat, yakni Kementerian ESDM. Hal ini sejak UU Minerba diberlakukan pada 10 Desember 2020.
”Jika Pemprov Kaltim melakukan tindakan penyetopan, baik kepada tambang legal maupun ilegal, akan menjadi dampak buruk karena bisa saja pemprov digugat. Sebab, melampaui kewenangannya dan kemungkinan kalah serta harus membayar tuntutan, (itu) sangat memungkinkan,” ujar Syafranuddin.
Meskipun tak memiliki wewenang memberi izin, kata Rupang, Pemprov Kaltim bisa turut melaporkan penyelewengan yang mereka ketahui. ”Setidaknya Pemprov Kaltim bisa melapor secara resmi,” katanya.
Sumber: Kompas