Kebijakan Kementerian ESDM yang menghapus sanksi untuk pengusaha batu bara yang tidak memenuhi kuota Domestic Market Obligation (DMO) 2020 adalah sebuah kemunduran. Kebijakan itu semakin menunjukan keberpihakan pemerintah pada pelaku usaha batu bara tanpa memperhatikan aspek kepatuhan dan dampak sosial lingkungan dari bisnis batu bara.
Kebijakan penghapusan sanksi itu tertuang pada Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No.255.K/30/MEM/2020 tentang Pemenuhan Kebutuhan Batu Bara Dalam Negeri 2021 yang ditetapkan Menteri ESDM Arifin Tasrif pada 29 Desember 2020 di Poin Kedelapan. Kebijakan tersebut muncul di tengah pemberitaan bahwa PLN mengalami kekurangan stok batu bara di awal tahun 2021. Sedangkan di sisi lain, pelaku usaha masih meminta agar penghapusan sanksi itu dilanjutkan hingga tahun ini.
Koordinator Nasional Publish What You Pay (PWYP) Indonesia, Aryanto Nugroho, menyesalkan langkah pemerintah yang membebaskan kewajiban pembayaran kompensasi terhadap sejumlah kekurangan penjualan batu bara untuk kepentingan dalam negeri (DMO) tahun 2020. Menurut dia, dibanding memberikan pembebasan kewajiban pembayaran kompensasi terhadap pelaku usaha batu bara yang tidak mematuhi kewajiban, seharusnya Pemerintah membuka nama-nama perusahaan tersebut ke publik dan tetap konsisten memberikan sanksi.
“Pemberian sanksi ini merupakan salah satu bentuk fungsi pembinaan dan pengawasan dari Pemerintah kepada pelaku usaha” jelas Aryanto, Kamis (21/1) lalu.
Dia melanjutkan, seharusnya pemerintah menetapkan sanksi dan membuka data perusahaan batu bara yang melanggar aturan tersebut kepada publik. Patut diingat kebijakan pengutamaan mineral dan batu bara untuk kepentingan dalam negeri ini adalah amanat UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan batu bara (UU Minerba). Bahkan di pasal 5 UU Minerba baru ini, kebijakan ini merupakan kewajiban pemerintah untuk menetapkan kebijakan DMO yang di UU Minerba sebelumnya hanya “dapat”.
“Kami juga selalu mengingatkan bahwa kewajiban DMO ini bukan semata-mata hanya untuk memenuhi kebutuhan pasokan batu bara bagi Perusahaan Listrik Negara (PLN) atau pun menyelamatkan keuangan PLN. Tetapi lebih besar dari itu, kebijakan kewajiban DMO batu bara sebagai salah satu upaya untuk mengendalikan produksi batu bara yang selama puluhan tahun dieksploitasi tanpa batas. Pengendalian atau pengurangan produksi batu bara sangat dibutuhkan untuk mencapai target bauran energi sekaligus mempertimbangkan makin menurunnya daya dukung lingkungan, meningkatnya emisi gas rumah kaca, dan bagian dari strategi menjaga neraca sumber daya.”
Anggota Divisi Advokasi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW), Egi Primayogha, mengatakan dalam situasi pandemi dan di tengah krisis, memang akan selalu ada pihak yang mencari celah untuk mendapat keuntungan. “Lewat penghapusan sanksi, pemerintah malah menunjukan keberpihakan kepada pengusaha batu bara. Sementara selama ini masyarakat yang terdampak masih berjuang untuk bisa melakukan pemulihan tidak diperhatikan. Mereka justru terus dirugikan,” tegas Egi.
Menurut Egi, pemerintah sengaja melupakan dampak buruk dari industri batu bara. Padahal kita baru saja dihadapkan dengan bencana banjir di Kalimantan Selatan. Kalimantan Selatan yang dulu dipenuhi dengan hutan kini wilayahnya dipenuhi dengan area pertambangan. Sehingga banjir tidak bisa dicegah.
“Masalahnya bukan semata curah hujan, tapi pengelolaan sumberdaya ekstraktif yang buruk dan hanya menguntungkan pengusaha. Obral perizinan, pengelolaan yang tidak transparan, pertanggungjawaban yang minus, pada akhirnya hanya memperparah dampak dari industri ekstraktif,” tutupnya.
Kebijakan pembebasan sanksi bagi pelaku usaha batu bara yang tidak mematuhi kewajiban DMO tersebut menguatkan rangkaian kebijakan yang dilakukan Kementerian ESDM cenderung “over insentif” kepada pelaku usaha batu bara. Sebagai gambaran, sepanjang 2020 lalu, terdapat banyak insentif lain yang telah diberikan Pemerintah kepada pelaku usaha batu bara. Sebut saja, mekanisme perpanjangan PKP2B menjadi IUPK yang jauh lebih mudah disbanding UU Minerba yang lama.
Realisasi produksi batu bara mencapai 558 juta ton, yang jelas melanggar Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) yang memandatkan pembatasan produksi maksimal sebesar 400 juta ton di tahun 2019. Pelonggaran kewajiban penggunaan angkutan kapal laut dan asuransi nasional melalui Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 40 Tahun 2020 tentang Ketentuan Penggunaan Angkutan Laut Nasional dan Asuransi Nasional untuk Ekspor dan Impor Barang Tertentu.
Sumber: Hukum Online