Indonesia merupakan salah satu negara di dunia yang memiliki kekayaan alam, sosial dan budaya yang sangat beragam. Seluruh daerah di Indonesia memiliki keanekaragaman dan kekayaan alam masing-masing. Salah satunya adalah kalimantan timur. Kalimantan Timur merupakan salah satu provinsi di indonesia yang memiliki kekayaan budaya berupa suku Dayak. Namun selain kekayaan budaya Kalimantan timur juga memiliki berbagai kekayaan alam berupa kelapa sawit, Karst hingga batu bara. Hal inilah yang menjadikan kalimantan menjadi pemasok batu bara terbesar di indonesia. Selain itu kalimantan memiliki kekayaan alam hutan yang sangat luas karena sebagian besar dari daerah kalimantan timur adalah hutan. Sehingga kalimantan menjadi salah satu wilayah yang disebut sebagai paru-paru dunia.

Seperti yang kita ketahui bahwa kalimantan merupakan satu produsen batubara terbesar di dunia. Jika diurutkan, Indonesia berada pada posisi kelima setelah Negara China, Amerika Serikat, India, dan Australia. Sumberdaya batubara Indonesia mencapai 99,2 miliar ton dengan memiliki cadangan sebesar 13,3 miliar ton yang tersebar dibagian wilayah Indonesia seperti Sumatera, Kalimantan, dan Papua. Telah tercatat pada tahun 2012-2015 bahwa rata-rata produksi batubara mencapai lebih dari 400 juta ton pertahun. Meskipun demikian banyaknya sumberdaya batubara yang tersedia, sudah diprediksikan bahwa keberadaannya akan habis 29 tahun yang akan datang atau tepatnya pada tahun 2046 mendatang. (sumber data : PWYP Indonesia).

Kekayaan Alam

Kekayaan batu bara di kalimantan timur dapat kita lihat dari banyak dan luasnya daerah yang dijadikan sebagai lahan pertambangan. Dari luas daerah kalimantan timur 34,4% nya merupakan luas yang dijadikan pertambangan batubara dan memiliki 1488 IUP (Ijin Usaha Tambang). Hal tersebut belum termasuk perkebunan kelapa sawit, karst hingga kekayaan alam yang lainnya. Salah satu daerah yang memiliki daerah pertambangan terbesar adalah samarinda. 71% dari luas daerah samarinda merupakan area tambang bstu bara. Hal ini karena seluruh daerah di kalimantan timur, khususnya samarinda berpotensi memiliki kekayaan batu bara. Sehingga Semakin tahun luas tambang di samarinda semakin meluas. Dan hal ini tidak terlepas dari warisan ferormasi yang memberikan otonomi darah seluas-luasnya (Daud, Basyir. Dkk.2017:5)

Samarinda yang merupakan ibu kota dari kalimantan timur menjadi salah satu daerah yang memiliki kekayaan batu bara yang tinggi. Kekayaan batu bara samarinda dapat dilihat dari banyak dan luasnya pertambangan batu bara yang tersebar di berbagai daerah di samarinda. Luas pertambangan batu bara di samarinda mencapai 71% dari luas samarinda itu sendiri. Samarinda mejadi wilayah provinsi kalimantan timur yang menjadi pemasok batubara terbesar di indonesia. Dari prosuksi nasional dari tanah kalimantan sebanyak 393,7 juta ton pada tahun 2011-2013 (Daud, Basir.2017:23).

Namun banykanya IUP dan lahan pertambangan di kalimantan timur tidak sebanding dengan kehidupan warga kalimantan timur. Beberapa gambaran dapat kita lihat pada kehidupan masyarakat desa buana jaya dan mulawarman. Desa Buana jaya dan mulawarman merupakan daerah yang terkenal dengan area tambang batu bara dan merupakan daerah yang sempat dikunjungi oleh penulis.

Budaya Jual Beli Lahan

Desa buana jaya merupakan daerah yang mayoriyas masyarakatnya berprofesi sebagai petani dan sebagaian besar hasil transmidrasi dari luar daerah kaliamntan timur. Terjadi perbedaan kondisi geografis dan statistika masyrakat desa buana jaya selama berdirinya perusahaan pertambangan batu bara disana. Kondisi ini pun terjadi di desa mulawarman yang menjadikan perubahan statistic masyrakat desa mulawarman turun drastic.

Kondisi ini terjadi bukan tanpa sebab. Kondisi ini berawal dari mulculnya kebiasaan masyarakat melakukan jual beli lahan dari warga kepada pihak pertambangan. Jual beli lahan ini sudah terjadi sejak berdirinya perusahaan pertambangan. Karena lahan yang dijadikan sebagai area tambang, dahulunya merupakan tanah milik warga. Sehingga pihak tambang harus membeli terlebih dahulu tanah warga tersebut yang kemudian disebut oleh warga sekitar sebagai “Pembebasan Lahan”. Namun dengan semakin habisnya bahan batu bara di area tersebut. hal ini menyebabkan pihak perusahaan terpaksa harus memperluas area tambangnya. Sehingga sedikit demi sedikit rumah warga tergantikan menjadi lahan tambang.

Kebiasaan ini terjadi hingga sampai sekarang. Hal ini karena dalam proses pembebasan lahan terjadi berbagai macam kesepakatan antara warga dengan pihak perusahaan. Dari mulai harga tanah yang semakin tinggi hingga dijanjikannya kesejahteraan sosial bagi warga sekitar oleh pihak perusahaan. Lahan di desa tersebut layaknya pasar karena di area tersebut terjadi proses tawar-menawar antara penjual (Warga) dan pembeli (Perusahaan). Bahkan tidak jarang banyak warga yang mempertahankan tanahnya hingga harga jualnya tinggi (Hingga perusahaan terpaksa membelinya). Karena rata-rata harga tanah di area tambang bernilai Rp 1 Miliar/Hektar. Tidak jarang banyak warga yang memilih menjual tanahnya dan mencari rumah yang baru yang harganya lebih rendah dari lahan dan rumah yang dijual kepada pihak perusahaan.

Namun tidak semua tanah dapat langsung dijual dan dibeli oleh peruasahaan. Pertama pihak perusahaan akan mengebor area warga untuk mengetahui apakah di tanah tersebut terkandung batubara. Biaya dalam 1 kali pengeboran adalah Rp 500 ribu. Setelah pihak perusahaan mengetahui adanya kandungan batu bara, barulah terjadi proses tawar-menawar dengan warga atau pembebasan lahan.

Karena semakin meluasnya area tambang dan terjadinya proses tawar menawar lahan dengan harga tinggi menyebabkan hal tersebut menjadi kebiasaan masyarakat sekitar area tambang dalam menjual tanah. Ditambah janji dalam pemberian kesejahteraan kepada masyarakat sekitar berupa pemberian bahan pokok seperti (Teh, gula, mie instan dan sebagainya). Hal ini menjadi penyebab tergiurnya warga untuk menjual tanahnya dan perusahaan dapat memperluas area tambang. Sehingga tidak jarang kita mendengar banyaknya desa yang hampir menghilang akibat perluasan area tambang tersebut. Seperti beberapa diantaranya adalah desa buana jaya dan mulawarman.

Namun kondisi ini berbeda dengan masyarakat yang menggantukan hidup dari sector pertanian dan perkebunan dan warga yang tempat tinggalnya berada di tengah desa. Hal inilah yang lantas menyebabkan permasalahan dan konflik antara pihak perusahaan, pemerintah dan warga. Dari mulai pencemaran lingkungan akibat limbah tambang, berkurang bahkan hilangnya sumber penghidupan, debu tambang yang menyebabkan pertanian dan perkebunan warga layu dan mati hingga retak dan hancurnya rumah warga akibat bom blasting batubara yang digunakan pihak pertambangan dalam menghancurkan tanah hingga banyaknya orang yang mati di lubang bekas galian tambang. Seperti tercatat dalam data JATAM dan PWYP tentang banyaknya orang mati akibat lubang bekas galian tambang. Hal ini diperparah dengan jarak area tambang yang tidak kurang dari 100 meter dari pemukiman warga. Padahal dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 4 tahun 2012 mengatakan bahwa jarak antara pertambangan dengan pemukiman warga minimal berjarak 500 m.

Marginalisasi dari Penghidupan

Dengan banyaknya masalah yang terjadi dengan adanya perluasan lahan pertambangan tersebut. Warga yang bertempat dan memiliki lahan di pinggiran desa dan lokasinya dekat dengan area pertambangan mungkin diuntungkan dari penjualan lahan dengan. Hal ini menyebabkan masyarakat yang tidak menjual tanahnya dan lebih memilih menetap menjadi terpinggirkan dari penghidupannya sehari-hari. Dari mulai sector pertanian dan perkebunan yang terganggu akibat tercemar dan hilangnya mata air. Seperti yang terjadi di desa buana jaya. Satu-satunya aliran sungai yang digunakan warga sebagai sumber air dalam mengairi pertanian dan perkebunan harus tercemar dengan limbah batu bara. Selain itu, aliran tersebut diputus oleh pihak perusahaan karena lahan yang dilalui aliran sungai tersebut sudah menjadi perusahaan. Selain itu sumur-sumur yang digunakan warga untuk mengairi lahan pertanian dan perkebunan ketika musim kemarau sudah tidak mengeluarkan air lagi. Menurut warga sekitar hal terjadi sejak berdirinya perusahaan tambang batubara. Hal ini menjadi ancaman bagi pemenuhan kebutuhan mereka kedepannya. Selain itu udara yang tercemar, suara bising hingga ancaman hancurnya bangunan akibat bom yang digunakan tambang menjadi hal yang menyebabkan masyrakat termarjinalkan dari lingkungan hidupnya.

Kondisi ini memaksa warga yang bertahan semakin terasing (alienasi) dan termarjiarnalkain dari lingkungannya. Karena semakin banyak warga yang menjual tanah di daerah pinggiran desa menyebabkan semakin dekat juga lahan tambang dengan pemukiman warga. Hal ini menyebabkan dampak-dampak dari tambang tersebut semakin besar dirasakan oleh warga yang bertahan. Hal ini yang menjadi sebab masyarakat termarjinalkan akibat adanya tekanan dominasi dari pihak tambang terhadap penghidupannya. Semakin hari dominasi perusahaan tambang atas lingkungan dan penghidupan semakin besar dan masyarakan sekitar menjadi kaum minoritas. Dominasi-dominasi perusahaan pertambangan setiap hari kian membesar. Dari mulai lingkungan, pemerintah hingga hukum.

Selain terjadi di desa Buana Jaya, kondisi inipun terjadi di desa Mulawarman, Tenggarong seberang- Kutai kartanegara. Seperti yang disampaikan kepala desa mulawarman bahwa warga desa telah menuntut kepada pemerintah untuk melakukan bedol desa. Karena kondisi lingkungan akibat pertambangan batubara sudah tidak layak dihuni oleh masyarakat. Karena tekanan dan dominasi akibat pertambangan inilah yang menyebabkan warga lebih memilih untuk mengalah dan pindah dari tempat tinggalnya.
Padalahal sejak desa mulawarman dibuka oleh pemerintah pada tahun 1991 untuk para transmigran. Desa mulawarman memiliki luas 2000 Ha yang dibagi atas 500 Ha lahan pertambangan dan 1500 Ha luas sawah dan ladang. Namun saat ini hanya tersisa 87 Ha lahan sawah dan ladang. Hanya sekitar 4% saja yang tersisa dari wilayah awal desa mulawarman. (JATAM Nasional). Padalah menurut Nebo yang merupakan anggota dari JATAM Kalimantan Timur pada awalnya desa mulawarman merupakan pengsuplay pangan terbesar bagi wilayah Samarinda dan Kalimantan Timur. Namun sekarang warga desa mulawarman membutuhkan beras dari wilayah lain dan pemerintah.

Selain pesimisme warga setelah tambang ditutup atau habis kontrak berupa banyaknya lubang yang ditiggalkan menjadi ancaman kehidupan masyarakat kedepannnya. Seperti yang dilansir dalam CNN (21/11/2016) sampai tahun 2016 lubang tambang di kalimantan timur sudah menewarskan sebanyak 26 orang. jumlah lubang bekas tambang. Walaupuan dalam peraturan Menteri ESDM No 29 tahun 2018 pasal 22 menjelaskan mengenai berbagai macam kewajiban perusahaan untuk mereklamsi lubang bekas tambang.
Hal ini menambah besarnya dominasi yang dimilii oleh pihak perusahaan tambang. Selain mengancam penghidupannya sehari-hari, tambang juga mengancam penghipan di masa mendatang bahkan mengancam generasi mereka. Karena dari 26 korban meninggal, tercata hanya ada 1 orang dewasa dan selebihnya adalah anak di bawah umur.

Hal ini menambah keterasingan yang dialami oleh warga. Dari mulai lingkungan, penghidupan hingga terasing dari masa depan mereka. Setelah banyak hadirnya pertambangan batu bara di daerah mereka.

Protes dan perlawanan yang dilakukan warga kepada pihak perusahaan, kepala desa, pemerintah provinsi hingga pemerintah pusat yang diadvokasi oleh JATAM (Jaringan Advokasi Tambahng), POGJA 30 dan LSM lainnya mengenai masalah-masalah tersebut hingga saat ini tidak terselesaikan dan mendapatkan kanal penyelesaian. Kondisi-kondisi inilah yang lantas menyebabkan warga pasrah dan terpaksa harus ikut menjual dan pindah dari tempat tinggalnya.

Hal ini terjadi hampir di seluruh area tambang yang terjadi di daerah kalimantan timur. Berbagai perlawanan secara lokal dan nasional terjadi dalam penanggapi permasalahan-permasalah tersebut hingga warga terpaksa harus turun kejalan.

Jika hal ini terus dibiarkan terjadi bukan tidak mungkin alam, warga hingga budaya kalimantan timur akan hilang dan tinggal sejarah. Karena hampir seluruh daerah kalimantan timur memiliki potensi untuk menjadi area pertambangan. Bahkan 71% dari luas daerah samarinda saat ini menjadi area konsesi tambang batubara.

Penulis: Iqbal Alma Ghosan Altofani