SETALI tiga uang. Buruknya tata kelola sektor migas ternyata juga terjadi di sektor pertambangan. Selama periode 2009 sampai 2013, kerugian negara (potential lost) dari land rent (izin usaha pertambangan/IUP) di 12 provinsi sejak 2009 sampai 2013 mencapai Rp919,18 miliar. “Hampir Rp1 triliun negara rugi. Ini salah satunya akibat penerbitan izin tambang di seluruh kawasan hutan konservasi,” ungkap Koordinator Nasional Publish What You Pay (PWYP) Indonesia, Maryati Abdullah, di Kantor Indonesia Corruption Watch, Jakarta, kemarin.

Menurutnya, potential lost negara dari penerimaan negara bukan pajak itu akibat peningkatan izin pertambangan secara masif. Disebutkan, dari 2.500 IUP pada 2009, kini menjadi 11.000 IUP pada awal 2014. “Untuk IUP saja, terdapat 4.672 IUP atau sekitar 43,87% dari 10.648 IUP yang dikeluarkan ternyata tidak clean and clear izinnya,” tandas Maryati. Perizinan ini terkesan mudah diterbitkan. Padahal, terjadi kejanggalan seperti adanya tumpang tindih antar-IUP, perusahaan tambang tidak memiliki nomor pokok wajib pajak (NPWP), alamat kantor yang tidak valid, serta adanya kekurangan dalam pembayaran pajak.

Peneliti dari Yayasan Auriga Syahrul menambahkan kerugian juga akibat dari tumpang tindih IUP jika didasarkan dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 9 Tahun 2012 tentang Tarif dan Jenis Penerimaan bukan Pajak. “Hasil analisis penerbitan IUP di 12 provinsi terdapat irisan antara potensi penerimaan dan realisasi,” paparnya. Disebutkan, kerugian di Kalimantan mencapai Rp574,94 miliar, Sumatra Rp174,7 miliar, dan di Sulawesi dan Maluku mencapai Rp169,94 miliar.

Melihat besarnya kerugian negara itu, mereka yang tergabung dalam Satgas Antimafia Tambang, yaitu PWYP Indonesia, Yayasan Auriga, LSM Article 33 Indonesia dan ICW, mendesak pemerintah untuk membenahi tata kelola pertambangan. “Kita minta Presiden Jokowi blusukan ke sektor tambang untuk meninjau langsung administrasi dan perizinan tambang,” kata peneliti dari ICW Mouna Wasef.

Senin, 08 Desember 2014 Penulis: MI/Cah | mediaindonesia.com