Jakarta, CNN Indonesia — Lembaga swadaya masyarakat Publish What You Pay (PWYP) Indonesia mendesak pemerintah meningkatkan pengawasan di seluruh aspek bisnis batu bara, baik lini produksi, ekspor, maupun kewajiban pemenuhan kebutuhan domestik (Domestik Market Obligation/DMO).
Koordinator PWYP Maryati Abdullah menyebutkan tak kalah penting, pengawasan juga mencakup penelusuran (tracebility) komoditas batu bara.
“Tracebility itu harus mengetahui asal barang, siapa penambangnya, siapa yang berdagang dan menyuplai ke mana saja. Harus ada sertifikasi,” ujar Maryati dalam diskusi ‘Strategis Pengelolaan Batu Bara Nasional’ di Hotel Aryaduta Jakarta, Kamis (4/10).
Maryati mengungkapkan kurangnya pengawasan menyebabkan potensi penerimaan negara hilang. Pasalnya, ada celah bagi pelaku usaha untuk tidak memberi laporan sesuai realita di lapangan. Saat ini, sistem yang digunakan dalam pembayaran pendapatan dari sektor batu bara masih menggunakan skema pelaporan sendiri (self-assesment) oleh korporasi terkait.
“Royalti dibayarkan di depan sebelum batu bara dikapalkan tetapi verifikasi jumlah dan pengapalan kita kerja sama antar instansi Kementerian Perhubungan, Kementerian Perindustrian, Bea Cukai, Kementerian Perdagangan, Kementerian ESDM, dan Kementerian Keuangan,” ungkapnya.
Di sisi lain, sumber daya manusia untuk melakukan audit verifikasi maupun bukti pelanggaran juga dinilai kurang. Untuk itu, pemerintah perlu menambah SDM dibidang pengawasan.
“Kalau kita tidak mempunyai banyak tangan untuk mengelola ya tidak usah kasih izin batu bara banyak-banyak,” tuturnya.
Selain itu, Maryati juga mengkritisi upaya penegakan hukum bagi pelaku usaha yang melakukan pelanggaran yang masih lemah. Misalnya, dalam hal ekspor yang melebihi kuota yang diizinkan maupun masalah penempatan Devisa Hasil Ekspor di dalam negeri.
“Kita harus berani melakukan penegakan hukum jika ada perusahaan yang melebihi kuota diberikan peringatan dan dihentikan sementara,” ujarnya.
Maryati mengingatkan sektor batu bara seharusnya memiliki peran positif dan konstruktif terhadap fiskal negara. Dalam hal ini, memperkuat cadangan devisa negara mengingat sebagian besar produksi batu bara diekspor.
Namun, berdasarkan informasi yang diterimanya, masih banyak perusahaan yang tidak menempatkan hasil ekspornya di Indonesia. Padahal, sektor batu bara mendapatkan banyak insentif dan kemudahan dalam melakukan ekspor.
Secara terpisah, peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Firdaus Ilyas juga membenarkan minimnya pengawasan membuka celah penyimpangan. Seperti yang pernah dipaparkan beberapa waktu lalu, berdasarkan kajian ICW mengenai usaha bisnis mineral dan batu bara di Indonesia, selama periode 2006-2016 ditemukan indikasi unreporting transaksi batu bara ekspor sebesar US$27,062 miliar atau setara dengan Rp365,2 triliun (asumsi kurs Rp13.500 per dolar AS).
Transaksi yang tidak dilaporkan tersebut menimbulkan indikasi kerugian negara baik dari kewajiban perusahaan batu bara untuk pajak penghasilan maupun royalti sebesar Rp133,6 triliun.
“Ini kan baru sebagian saja dari rantai proses bisnis batu bara kita. Kami belum melihat mekanisme perdagangan domestik, perizinan dan segala macam,” ujarnya.
Belum lagi ada masalah pungutan liar yang diberikan pelaku usaha ke oknum-oknum pemerintah yang terkait untuk memuluskan dokumen pengiriman batu bara.
“Bisa jadi, rantai suapnya atau uang pelicin tidak hanya di sektor yang terkait langsung dengan kementerian perdagangan tetapi juga pengawasan yaitu oknum poisi, tentara dan patroli laut,” ujarnya.
Karenanya, Firdaus menilai kontribusi PNBP sektor batu bara yang berkisar Rp30 triliun hingga Rp40 triliun masih tak cukup untuk mengimbangi potensi kerugian negara dan dampak industri secara tidak langsung seperti kerusakan lingkungan dan kesehatan.
“Sudah saatnya pemerintah melakukan revisi besar terhadap pengelolaan batu bara kita dan pertambangan secara umum,” ujarnya.
Untuk itu, pemerintah perlu tegas, misalnya, dalam upaya mengembalikan indikasi kerugian negara.KPK juga perlu turun tangan untuk menindaklanjuti indikasi korupsi dan pelanggaran hukum di sektor batu bara.
“Kami juga meminta Komite Pemberantasan Korupsi untuk mendorong kementerian teknis terkait untuk membantu mengembalikan indikasi kerugian negara,” ujarnya.
Untuk jangka menengah dan jangka panjang, pemerintah perlu memperbaiki tata kelola bisnis batu bara, mulai dari perizinan hinggan pengawasan. Menurut Firdaus, pemerintah perlu mengubah pandangan bahwa bisnis batu bara hanya sekedar ekstraksi tetapi merupakan bisnis yang perlu dikelola secara berhati-hati dan bertanggung jawab.(sfr/lav)
Sumber: CNN Indonesia