PIKIRAN RAKYAT – Konflik yang terjadi di Desa Wadas, Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah, diduga belum menemui titik terang terkait penyelesaiannya.

Sebagaimana diberitakan oleh akun Twitter Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI-LBH) Yogyakarta diduga menemukan pelanggaran-pelanggaran terkait permasalahan di Desa Wadas.

Pertama, adanya pengerahan aparat secara masif dan represif terhadap warga. Kedua, dugaan ketidak jelasan perizinan tambang di Desa Wadas.

Selain YLBHI Yogyakarta, akun Twitter @bersihkan_indo juga menuliskan bahwa pertambangan di Wadas yang dibela aparat dengan tindakan represif itu ternyata ada dugaan hukum negeri yang dipermainkan demi melancarkan proyek perampasan lahan pertanian warga.

Di samping itu, Direktur Jenderal (Dirjen) Minerba, Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) menerbitkan Surat Nomor T-178/MB.04/DJB.M/2021 tertanggal 28 Juli 2021 sebagai tanggapan atas surat Dirjen Sumber Daya Air Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) No. PR.02.01-DA/758 tertanggal 24 Juni 2021 tentang Permohonan Rekomendasi Perizinan Penambangan untuk Kepentingan Sendiri PSN Pembangunan Bendungan Bener.

Dalam surat tersebut, Dirjen Minerba menyetujui kegiatan pengambilan material quarry untuk pembangunan Bendungan Bener dan tidak memerlukan izin.

Berdasarkan dokumen rencana proyek tersebut, telah ditetapkan areal penambangan batuan andesit di Desa Wadas seluas 140 hektar dan membutuhkan material penutup sebanyak 1,5 juta meter kubik.

Menurut Muhamad Jamil, selaku jaringan Advokasi Tambang Nasional mengatakan bahwa, andesit di Desa Wadas sudah tidak memiliki legitimasinya baik di ranah hukum maupun sosial.

Tambang andesit di Wadas itu sudah tidak memiliki legitimasinya, baik dari sisi hukum maupun sosial. Surat Dirjen Minerba yang memperbolehkan tambang tanpa Amdal dan Izin, kami duga merupakan respon dari otoritas pemerintah yang panik boroknya ketahuan lalu sibuk mencari legitimasi. Apa yang dilakukan oleh Dirjen Ridwan Djamaluddin, patut diduga sebagai penyalahgunaan kewenangan selaku Badan atau Pejabat tata usaha negara demi kepentingan sekelompok orang,” ujar Muhamad Jamil.

Aryanto Nugroho yang merupakan Koordinator Nasional Publish What You Pay Indonesia juga mengatakan bahwa, surat Dirjen Minerba itu berpotensi melanggar sejumlah pasal.

“Terlepas bahwa UU Minerba masih dalam proses judicial review di Mahkamah Konstitusi (MK), surat Dirjen Minerba tersebut berpotensi melanggar sejumlah pasal. Di antaranya, Pasal tentang Kewenangan Pemerintah Pusat dalam Pengelolaan Pertambangan Minerba; Pasal 35 tentang Perizinan Berusaha Pertambangan Minerba; Pasal 38 tentang Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan kewajiban keuangan bagi negara; dan Pasal 158 tentang Pertambangan Tanpa Izin,” ujar Aryanto.

Menurut akun tersebut juga, dalam upaya pengelolaan pertambangan, baik untuk komersial atau tidak, wajib untuk memiliki izin.

Hal demikian karena berkaitan dengan kaidah pengelolaan pertambangan mulai dari penyiapan wilayah pertambangannya; siapa yang mengelola dan apa kewajibannya; serta yang terpenting apakah sudah ada persetujuan masyarakatnya.

Kasus Wadas itu membuka kotak pandora, bahwa tata Kelola pertambangan minerba masih jauh dari kata membaik di rezim tersebut.***

Sumber: Pikiran Rakyat