JAKARTA, KOMPAS — Pendapatan negara hingga November 2021 mencapai Rp 1.699,4 triliun atau 97,5 persen dari target sebanyak Rp 1.743,6 triliun. Jumlah ini terdiri dari penerimaan perpajakan yang meliputi penerimaan pajak, serta bea dan cukai, Rp 1.314,8 triliun, dan penerimaan negara bukan pajak atau PNBP Rp 382,5 triliun. Tingginya harga komoditas berkontribusi penting terhadap penerimaan tersebut.

Dalam periode tersebut, penerimaan pajak mencapai Rp 1.082,6 triliun atau tumbuh 17 persen secara tahunan. Jumlah ini ditopang oleh pertumbuhan penerimaan Pajak Penghasilan (PPh) sektor minyak dan gas bumi (migas) sebesar 57,7 persen, PPh nonmigas 12,6 persen, dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 19,8 persen.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, dalam konferensi pers bertajuk ”APBN KiTA” secara virtual, Selasa (21/12/2021), mengatakan, kontribusi pajak semakin positif setelah aktivitas ekonomi menguat cukup tinggi. Ini terjadi, khususnya, setelah Indonesia mampu mengendalikan penyebaran Covid-19 varian Delta.

”Ini berarti sesudah varian Delta terkendali, perdagangan juga makin resilien dan tumbuh melonjak cukup tinggi,” kata Sri Mulyani.

Jika ditinjau lebih detail berdasarkan jenis pajak, lanjut Sri Mulyani, pajak-pajak utama menunjukkan pertumbuhan positif pada November 2021. PPh 21 meningkat sejalan dengan perbaikan utilisasi tenaga kerja. PPh 22 impor juga membaik sejalan dengan peningkatan impor dan berkurangnya pemberian insentif.

Kontribusi pajak semakin positif setelah aktivitas ekonomi menguat cukup tinggi. Ini terjadi, khususnya, setelah Indonesia mampu mengendalikan penyebaran Covid-19 varian Delta.

Dari sisi penerimaan yang lain, kepabeanan dan cukai tumbuh signifikan mencapai 26,58 persen secara tahunan dengan realisasi Rp 232,25 triliun atau 108,05 persen dari target APBN. Pertumbuhan ini didorong kenaikan penerimaan dari bea masuk, cukai, dan bea keluar.

Sementara itu, PNBP, seperti halnya pada pajak dan kepabeanan cukai, juga memiliki kinerja positif seiring dengan kenaikan harga komoditas migas, mineral, dan batubara, serta minyak kelapa sawit mentah (CPO). Penerimaan PNBP hingga November 2021 sebesar Rp 382,5 triliun atau 128,3 persen dari target APBN. Ini artinya ada pertumbuhan 25,2 persen secara tahunan.

Seiring dengan peningkatan penerimaan negara tersebut, defisit anggaran turun dari Rp 885,1 triliun atau 5,73 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) pada Oktober 2021 menjadi Rp 611 triliun atau setara 3,63 persen terhadap PDB.

”Kami memperkirakan hingga akhir tahun nanti semua penerimaan negara akan melebihi target APBN. Ini akan berdampak positif terhadap pendapatan negara,” ujar Sri Mulyani.

Dalam kesempatan yang sama, Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Suryo Utomo meyakini adanya faktor kenaikan harga komoditas terhadap penerimaan negara. Terlebih lagi dalam beberapa waktu terakhir petugas pajak tengah fokus mengejar penerimaan di sektor pertambangan dan perkebunan. ”Kami melakukan pengawasan ke sektor-sektor yang mengalami pemulihan pada masa pandemi,” ujarnya.

Suryo mengungkapkan, pihaknya menggunakan data Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, khususnya penerimaan bea keluar, sebagai indikator pengawasan pajak. Realisasi setoran bea keluar sendiri meningkat tahun ini, didorong oleh perbaikan harga komoditas di pasar internasional.

Seiring dengan peningkatan penerimaan negara tersebut, defisit anggaran turun dari Rp 885,1 triliun atau 5,73 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) pada Oktober 2021 menjadi Rp 611 triliun atau setara 3,63 persen terhadap PDB.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam keterangannya di Hotel Splendide Royal, Roma, Italia, Sabtu, 30 Oktober 2021 waktu setempat, seusai mendampingi Presiden Joko Widodo dalam KTT G-20 di La Nuvola.

”Hal tersebut berimplikasi positif bagi pelaku usaha di dalam negeri. Sektor usaha tersebut kemudian menjadi sasaran proses bisnis pengawasan pajak,” kata Suryo.

Komoditas batubara

Secara terpisah, Direktur Penerimaan Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Muhammad Wafid mengatakan, hingga 10 Desember 2021, nilai PNBP mineral dan batubara telah mencapai Rp 70,05 triliun atau 179,14 persen dari target tahun ini yang sebesar Rp 39,1 triliun. Menurut dia, nilai PNBP itu merupakan pencapaian tertinggi, setidaknya sejak 2017.

Pada 2017, Kementerian ESDM menargetkan PNBP mineral dan batubara Rp 32,72 triliun dan realisasinya Rp 40,62 triliun. Pada 2018, target PNBP mencapai Rp 32,1 triliun dan realisasinya Rp 50 triliun. Tahun berikutnya, target PNBP naik menjadi Rp 43,27 triliun dengan realisasi Rp 45,59 triliun. Adapun pada 2020, pemerintah menurunkan target PNBP menjadi Rp 31,41 triliun dan realisasi Rp 34,6 triliun.

”Pencapaian PNBP yang sudah melebihi target itu dipengaruhi oleh kenaikan harga komoditas, terutama batubara,” ujar Wafid.

Harga batubara sempat mencapai 215,01 dollar AS per ton pada November 2021 atau tertinggi dalam beberapa dekade terakhir.

Hingga 10 Desember 2021, nilai PNBP mineral dan batubara telah mencapai Rp 70,05 triliun atau 179,14 persen dari target tahun ini yang sebesar Rp 39,1 triliun.

Pemuatan batubara ke tongkang di Pelabuhan PT Tunas Inti Abadi di Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan, Rabu (26/9/2018). Selain untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, batubara tersebut juga diekspor ke India, China, Thailand, Filipina, dan Vietnam.

Koordinator Nasional Publish What You Pay Indonesia, Aryanto Nugroho, saat dihubungi secara terpisah mengatakan, Indonesia semestinya berhati-hati dengan harga komoditas yang amat fluktuatif. Apalagi, sampai menjadikan komoditas sebagai penopang penerimaan negara.

Di tengah tren harga tinggi komoditas, seperti batubara, dia berpendapat, pemerintah sebaiknya tidak ”aji mumpung” dengan merencanakan kenaikan produksi batubara. Pemerintah semestinya konsisten dengan misi transisi energi.

Jika mengacu pada Peraturan Presiden Nomor 22 Tahun 2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional, produksi batubara tahun 2015 mencapai sekitar 461,6 juta ton dan mulai tahun 2019 akan dikendalikan maksimal sebesar 400 juta ton, kecuali kebutuhan domestik melebihi 400 juta ton. Ekspor batubara akan dihentikan paling lambat pada 2046 saat kebutuhan domestik mencapai lebih dari 400 juta ton.

”Pemerintah seharusnya konsisten dengan pengendalian yang diamanatkan Rencana Umum Energi Nasional. Kalau konsisten, pemerintah semestinya bisa mengesampingkan tren kenaikan harga yang lantas dipakai untuk rencana menaikkan produksi batubara,” ucap Aryanto.

Aryanto mengakui, ketika pengendalian produksi batubara dilakukan, PNBP akan tertekan. Oleh karena itu, pemerintah perlu mencari upaya lain. Sejalan dengan misi transisi energi, misalnya, pemerintah bisa meningkatkan pengembangan sumber energi terbarukan atau aktivitas ekonomi hijau.

Sumber: Kompas


Bagikan