WhatsApp-Image-20160620

Tahun 2016 menandai 12 tahun pasca terbitnya putusan Mahkamah Konstitusi No. 002/PUU-I/2003 yang membatalkan sejumlah pasal dalam UU Nomor 21/2001 tentang Migas dan empat (4) tahun pasca terbitnya putusan MK No. 36/PUU-X/2012 yang membubarkan BP Migas. Namun hingga kini pembahasan RUU Migas belum menemui titik terang. Karena meski kembali dimasukkan ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2016, tidak ada jaminan bahwa revisi UU ini akan rampung tahun ini.

“UU Migas 2001 sudah tidak relevan untuk diterapkan. 3 kali judicial review dilakukan terhadap UU ini. Banyak pasal juga yang sudah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi. Hal ini berdampak pada ketidakpastian hukum yang harus dihadapi oleh pelaku usaha. Padahal kepastian hukum dapat menggenjot investasi di sektor migas yang mampu menjamin produksi dan pasokan migas. Karena kebijakan impor yang kini dilakukan justru mengancam ketahanan energi Indonesia,” terang Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR pada konferensi pers Koalisi PWYP Indonesia “Mendesak DPR agar Segera Membahas RUU Migas” di Jakarta, 29 Mei lalu.

Senada dengan Fabby, Aryanto Nugroho, Manajer Advokasi PWYP Indonesia, juga menekankan pentignya kepastian hukum dalam upaya perbaikan tata kelola sektor migas. Sejumlah pihak telah mengupayakan adanya perbaikan tata kelola migas. KPK tengah menjalankan Koordinasi dan Supervisi di sektor migas. Tim TRTKM juga telah mengungkap potensi korupsi dan ruang mafia di sektor migas. Akan tetapi, hal ini tidak optimal tanpa adanya kepastian payung hukum. Karenanya, kami mendesak DPR untuk segera membahas RUU Migas.

“Sayangnya, besarnya urgensi untuk segera merampungkan revisi UU Migas tidak dibarengi dengan komitmen DPR. Agenda RUU Migas tidak dimasukkan dalam agenda Bulan Mei. Bahkan, pembahasannya diperkirakan akan kembali diundur karena belum ada titik temu terkait isu-isu kritikal dalam revisi ini. Padahal, banyak permasalahan dalam tata kelola migas yang menuntut solusi yang sistemik,” imbuh Aryanto.

Hanafi, Direktur Eksekutif IPC, mempertanyakan komitmen dan usaha DPR dalam agenda pembahasan RUU Migas. “Tidak ada upaya DPR untuk segera menyelesaikan RUU Migas. Mereka hanya menempatkan RUU Migas sebagai pajangan manis dalam setiap Prolegnas. Lambannya pembahasan RUU Migas ini disinyalir karena adanya tarik menarik kepentingan, mengingat migas merupakan sektor yang strategis dan sarat akan pemburu rente.”