JAKARTA — Pemerintah harus bersikap tegas terkait persoalan ekspor konsentrat mineral. Keinginan pemerintah agar perusahaan tambang mineral segera membuat tempat pengolahan dan pemurnian mineral (smelter) seharusnya bisa segera diwujudkan.

Koordinator Nasional Publish What You Pay (PWYP) Maryati Abdullah mengatakan, saat ini memang ada indikasi pemerintah melakukan tarik ulur atau inkonsistensi regulasi terkait ekspor konsentrat mineral. Padahal, inkonsistensi regulasi dalam hal hilirisasi bisa berpotensi menimbulkan kecemburuan ekonomi sosial dan ketidakpastian hukum dalam kegiatan ekonomi minerba yang dikhawatirkan menimbulkan buruknya iklim investasi.

“Pemerintah harus mengambil sikap untuk mengurangi jumlah ekspor konsentrat mineral. Jangan terus membiarkan diambil yang akhirnya akan habis juga,” kata Maryati, Ahad (25/9).

Maryati menjelaskan, pembukaan keran ekspor di tengah proses penataan izin usaha pertambangan (IUP) bisa memicu terjadinya eksploitasi sumber daya alam secara besar-besaran. Eksploitasi ini nantinya akan berdampak juga pada pembukaan lahan dan hutan yang menimbulkan berbagai konflik dan kerugian sosial bagi masyarakat yang dalam jangka waktu panjang sangat tidak efektif bagi pembangunan.

Pemerintah yang beralasan bahwa situasi ini karena adanya defisit fiskal harus diteliti betul. Sebab, defisit fiskal ini juga disebabkan oleh ketergantungan pemerintah pada pendapatan dari penjualan komoditas SDA dalam waktu panjang.

Pembangunan smelter secara menyeluruh dan merata juga harus dikembangkan dengan baik oleh pemerintah. Keberadaan smelter yang berkualitas juga akan mengundang perusahaan tambang luar negeri untuk melakukan pemurnian di Indonesia. Hal ini nantinya akan memberikan pendapatan lebih bagi pemerintah.

Sebagai informasi, berdasarkan data Kementerian ESDM per Agustus 2016, ada 26 smelter yang sudah mencapai tahap commissioning atau produksi (kemajuan 81-100 persen). Adapun yang mencapai akhir tahap konstruksi (kemajuan 51-80 persen) ada enam smelter.

Sebanyak 11 smelter mencapai pertengahan tahap konstruksi pabrik (kemajuan 31-50 persen), dan 14 smelter baru tahap ground breaking dan awal konstruksi (kemajuan 11-30 persen). Sementara itu, ada 10 smelter baru memulai tahap analisis dan dampak lingkungan (kemajuan 6-10 persen).

Mantan direktur jenderal mineral dan batu bara Kementerian ESDM, R Sukhyar, mengatakan bahwa pemerintah kemungkinan besar akan memberikan kemudahan ekspor konsentrat tersebut. Walaupun, pemerintah sebelumnya telah melakukan relaksasi melalui Peraturan Menteri (Permen) Nomor 1 Tahun 2014. Relaksasi tersebut akan berakhir pada 12 Januari 2017, tapi PP ini tampaknya tidak akan diindahkan.

“Tapi, rasanya dalam kondisi sekarang ini kebijakan itu (ekspor konsentrat) akan terjadi,” kata Sukhyar dalam diskusi “Tarik Ulur Kebijakan dan Peningkatan Nilai Tambah Mineral”, Ahad (25/9).

Jika pemerintah sudah pasti melonggarkan ekspor konsentrat ini, Sukhyar berharap akan ada kebijakan khusus terkait dengan bea keluar ekspor konsentrat yang ditambahkan. Hal ini sesuai dengan tujuan hilirisasi yang diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 agar bisa cepat tercapai.

Saat ini memang telah ada peraturan yang mengatur mengenai bea keluar ekspor konsentrat melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No 153 Tahun 2014. Tetapi, nilai bea keluar melalui PMK ini dinilai sangat kecil dibandingkan dengan perkembangan smelter perusahaan mineral yang tak kunjung memperlihatkan pertumbuhan.

Di sisi lain, Sukhyar menilai bahwa pembangunan smelter di dalam negeri sangat memberikan keuntungan ganda. Bukan hanya karena nilai mineral yang semakin tinggi, melainkan juga bisa memberikan lapangan pekerjaan baru bagi masyarakat.

Dia mengatakan, keberadaan smelter di Indonesia saat ini juga banyak diminati oleh investor luar negeri. Sebab, pembangunan smelter di Indonesia lebih efisien dan menghasilkan produk yang baik daripada pembangunan smelter di negara tetangga seperti Filipina.

Sementara itu, Badan Pengurus Pusat Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) meminta pemerintah berhati-hati dalam membuka keran ekspor konsentrat. Pasalnya, relaksasi ini menyangkut kepercayaan dan masa depan investasi smelter jangka panjang.

“Jangan sampai relaksasi ini menggerus keyakinan investor bagi masa depan investasi smelter di Tanah Air,” ujar Ketua Bidang Energi dan Pertambangan BPP Hipmi Andhika Anindyaguna, beberapa waktu lalu.

Andhika mengatakan, pemerintah harus berhati-hati dan mengelola dengan benar kebijakan ini bila hendak diterapkan. Karena, upaya untuk relaksasi ini akan berdampak pada keinginan investor untuk menanamkan modalnya pada industri smelter.

“Jangan sampai investor menangkap kesan regulasi kita ini sangat lentur oleh sebab ada berbagai kepentingan sehingga investor menjadi distrust kepada regulator,” ujar Andhika.

Dia menjelaskan, nilai investasi di smelter saat ini sudah cukup besar. Nilainya telah mencapai Rp 156 triliun melalui 27 proyek smelter. Karena investasi cukup besar, perusahaan smelter harus dijaga betul agar tidak gulung tikar dan berpindah ke negara lain.