KONTAN.CO.ID –  JAKARTA. Publish What You Pay (PWYP) Indonesia meminta Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mewaspadai kenaikan harga batubara di tahun 2018 yang diyakini masih terus melambung. Kenaikan harga akan mendorong laju eksploitasi batubara secara besar-besaran. Sementara pengawasan dari pemerintah serta kepatuhan pelaku usaha di beberapa daerah masih lemah atau perlu ditingkatkan.

Peneliti Tata Kelola Pertambangan PWYP Indonesia, Rizky Ananda menyatakan, pelaku usaha akan memanfaatkan momentum kenaikan harga untuk menggenjot produksi. Peluang ini sangat mungkin, terlebih Kementerian ESDM telah menargetkan untuk menaikkan produksi di tahun 2018 sebesar 5% dari RKAB 2017 yakni sekitar 485 juta ton.

Itu melanggar Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 yang menetapkan produksi batubara sebesar 406 juta ton di tahun 2018 serta Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) yang memandatkan pembatasan produksi maksimal sebesar 400 juta ton di tahun 2019.

“Hal ini semakin menguatkan arah kebijakan pemerintah yang masih menempatkan batubara sebagai sumber penerimaan negara dengan terus menaikkan target produksi batubara,” tuturnya melalui siaran pers, Jumat (2/2).

Sementara di sisi lain, tata kelola batubara masih menyisakan masalah serius yang belum terselesaikan dengan baik. Di antaranya, tercatat 704 IUP batubara yang masih berstatus non-clean and clear per Desember 2017. Tumpang tindih pertambangan dengan kawasan hutan yang telah teridentifikasi sejak tahun 2014 tak kunjung terselesaikan.

Data yang dihimpun PWYP dari Kementerian ESDM per Desember 2016 menunjukkan, setidaknya masih ada 631.000 hektare (ha) konsesi batubara di kawasan hutan lindung dan 212.000 ha konsesi batubara di kawasan hutan konservasi. Juga rendahnya kepatuhan pelaku usaha dalam menempatkan dana jaminan reklamasi dan pasca tambang.

Hingga awal tahun 2018, persentase pemegang IUP yang menempatkan dana tersebut hanya 50% dari total keseluruhan IUP di sektor pertambangan mineral dan batubara. Tak terkecuali potensi kerugian negara dari ekspor batubara secara ilegal, dan pemegang IUP yang tidak membayar pajak dan kewajiban penerimaan negara lainnya.

“Terus meningkatkan target produksi tanpa melakukan perbaikan di sisi pengawasan sama halnya dengan membuka keran eksploitasi batubara. Terlebih ada sekitar 373 IUP eksplorasi batubara yang berakhir masa berlakunya di tahun 2016-2017 (ESDM, Desember 2017) dan diperkirakan akan memasuki fase produksi di tahun 2018,” ujar Rizky.

Koordinator PWYP Indonesia, Maryati Abdullah, mengungkapkan kebijakan pemerintah dalam pengelolaan batubara masih cenderung berorientasi ekspor. Hal ini terlihat dari turunnya ketentuan pemenuhan Domestic Market Obligation (DMO) tahun 2018 dibandingkan tahun 2017 sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri ESDM Nomor. 23 K/30/MEM/2018.

Sebagai dampaknya, penurunan ekspor secara bertahap sebagaimana diamanatkan oleh RUEN semakin sulit terealisasikan. Akibatnya, tren harga pasar global semakin memicu ekspor batubara, yang juga bisa berdampak pada kekurangan pasokan bagi kebutuhan domestik.

Terlebih dengan adanya deregulasi perizinan yang diatur dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 34 Tahun 2017, yakni menggantikan IUP Operasi Produksi Khusus Pengangkutan dan Penjualan dengan Tanda Registrasi. “Akses yang mudah untuk mendapatkan Tanda Registrasi sebagai prasyarat melakukan kegiatan pengangkutan dan penjualan dikhawatirkan justru berdampak pada potensi penyelewengan dan pelanggaran yang kian besar,” tutur Maryati.

Kajian Indonesia Corruption Watch (ICW) menunjukkan adanya temuan potensi kerugian negara sebesar Rp 133 triliun akibat dugaan transaksi yang tidak dilaporkan dari ekspor batubara selama periode 2006-2016 dengan melihat gap data Indonesia dengan negara importir. Selain itu, Korsup Mineba KPK mengungkap adanya pemegang IUP OPK seringkali melakukan kegiatan pengangkutan dan penjualan dari pihak lain yang tidak tercantum dalam SK IUP OPK.

“Rendahnya kepatuhan pelaku usaha masih membayangi industri batubara di Indonesia. Diperlukan sistem yang terintegrasi dari rantai perizinan, penerimaan hingga penjualan untuk dijadikan acuan dalam melakukan pengawasan terhadap kepatuhan kewajiban pelaku usaha, agar pelanggaran tidak kembali terulang,” pungkasnya.

Sumber: Kontan