Jakarta – Publish What You Pay (PWYP) Indonesia bersama dengan sejumlah elemen masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil Pengawal Konstitusi Sumber Daya Alam mendatangi kantor Ombudsman Republik Indonesia (ORI) pada 23 Januari 2017 lalu. Kehadiran itu bertujuan untuk melaporkan adanya dugaan mal administrasi dalam proses penyusunan kebijakan pelonggaran ekspor mineral mentah dan olahan.

Kebijakan itu adalah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 2017 tentang Perubahan Keempat Atas PP No.23/2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara; Penyusunan Peraturan Menteri (Permen) ESDM No.5/2017 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral di Dalam Negeri dan Permen ESDM No.6/2017 tentang Tata Cara Persyaratan Pemberian Rekomendasi Pelaksanaan Penjualan Mineral ke Luar Negeri Hasil Pengolahan dan Pemurnian.

Peraturan-peraturan tersebut membuka jalan bagi pemerintah untuk memberikan pelonggaran (relaksasi) izin ekspor pertambangan mineral, baik untuk ekspor bahan mentah (ore material) maupun olahan (konsentrat). Dan juga pemberian perpanjangan operasi bagi PT Freeport Indonesia (PT FI) beserta pemegang Kontrak Karya (KK) lainnya melalui Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) yang dinilai bertentangan dengan UU Minerba No 4/2009.

Ahmad Redi, Juru Bicara Koalisi Masyarakat Sipil Pengawal Konstitusi Sumber Daya Alam menyampaikan proses penyusunan kebijakan pelonggaran ekspor mineral mentah dan olahan telah menyimpang dari prosedur standar lembaga penyelenggara pelayanan publik atau mal-administrasi. “Penerbitan PP dan Permen ESDM dengan proses kilat dan dalam waktu yang bersamaan mengindikasikan adanya prosedur dilanggar dalam penyusunan regulasi sebagaimana yang telah diatur dalam UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan,” jelas Redi.

Penyusunan PP dan Permen ESDM, menurut Redi, seharusnya melalui berbagai tahapan, seperti harmonisasi yang melibatkan lintas kementerian, seperti, Kemenkum HAM, Kemenko Perekonomian, Kementerian ESDM, KLHK, Kementerian Perindustrian dan lainnya. Belum lagi dengan kewajiban melakukan konsultasi publik yang harus dijalankan. “Kami menduga tahapan-tahapan tersebut tidak dijalankan melihat Terbitnya Permen ESDM 5/2017 dan Permen ESDM 6/2017 yang bersamaan dengan PP 1/2017,” ujar Redi yang juga Pengajar di Fakultas Hukum Universitas Tarumanegara.

Aryanto Nugroho, Manajer Advokasi dan Jaringan PWYP Indonesia mendesak Ombudsman untuk lekas menindaklanjuti laporan sekaligus melakukan penyelidikan sesuai kewenangan yang dimilikinya. “Ombudsman harus menyelidiki dan mengungkap fakta-fakta terkait proses penyusunan kebijakan sekaligus menindaklanjutinya apabila memang terjadi pelanggaran atas ketentuan administrasi publik,” tutur Aryanto

Penyampaian laporan dugaan mal-administrasi itu diterima langsung oleh Komisioner ORI, Alamsyah Saragih. “Tentu saja kami menerima laporan tersebut, dan akan memprosesnya segera setelah pengadu melengkapi seluruh persyaratan pengaduan sebagaimana ketentuan yang berlaku.” ungkap Alamsyah.

Alamsyah menjelaskan bahwa pihaknya akan fokus pada sisi prosedural dalam penyusunan kebijakan, meski dimungkinkan untuk menyentuh substansi. “Terkait ranah substansi, produk akhir yang bisa diterbitkan ORI hanya sebatas saran yang jika tidak dipenuhi oleh terlapor tidak ada sanksi yang dapat diterapkan. Sementara untuk sisi prosedural, akan dilakukan policy audit dengan memanggil pembuat kebijakan terkait,” tegasnya

Untuk PP-nya sendiri, menurut Alamsyah, jika terbukti ada maladministrasi, pihaknya akan mengeluarkan saran yang ditujukan Presiden untuk membatalkan atau merevisi kebijakan tersebut dalam jangka waktu tertentu. “Sementara untuk Permen sendiri, jika terbukti ada maladministrasi, maka ORI akan memberikan rekomendasi kepada Menteri ESDM untuk membatalkan Permen. Jika rekomendasi ORI tidak dipenuhi oleh Menteri ESDM, maka akan diberikan sanksi administrasi,” pungkas Alamsyah. (ARY)