kebijakan-ekspor-konsentrat-dengan-bayar-bea-keluar-dinilai-tak-adil

Merdeka.com – Koordinator Nasional Publish What You Pay (PWYP), Maryati Abdullah mengaku tidak setuju dengan kebijakan yang dijalankan pemerintah mengenai ekspor konsentrat. Kebijakannya adalah, pemerintah masih mengizinkan ekspor tambang mentah tanpa diolah dalam negeri dengan syarat membayar bea keluar yang dihitung dari persentase pembangunan smelter.

“Kalau perusahaan kecil punya progres di atas 80 persen, sementara perusahaan besar progres di atas 30 persen, kritik kami di tarif bea keluar jangan hanya progres smelter saja, evaluasi enggak ketat, kalau sekarang hanya 7,5 persen (pembangunan rata-rata) tahun depan harus ada peningkatan,” ungkap Maryati Abdullah di Resto Tjikini Lima, Jakarta, Minggu (25/9).

Selain itu, dia juga mengkritik kebijakan pelonggaran ekspor yang dinilai merugikan pengusaha smelter dalam negeri. Dengan adanya pelonggaran, perusahaan tambang menjadi malas membangun smelter atau bekerja sama dalam membangun smelter.

“Jadi mereka (pengusaha smelter) dikhianati pemerintah dengan dibukanya izin konsentrat, persoalan kurang listrik kurang modal ini bisa diusahakan pemerintah, tapi izin konsentrat ini yang enggak boleh dikendurkan, itu bisa timbulkan ketidakadilan ekonomi, dan saya khawatir menimbulkan buruknya iklim investasi di dalam negeri,” ungkap Maryati.

Sebelumnya, Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati menilai kondisi ekonomi Indonesia yang mulai menunjukkan perbaikan berpotensi untuk meningkatkan industri hilirisasi dalam negeri dan menciptakan kandungan lokal lebih tinggi.

Menurut Sri Mulyani, yang harus diperhatikan saat ini bukan bagaimana pemerintah melakukan hilirisasi dan menciptakan kandungan lokal yang banyak, melainkan bagaimana pemerintah membuat industri yang mampu melakukan kegiatan tersebut secara berkelanjutan.

“Persoalannya bukan bagaimana ide hilirisasi, tapi bagaimana kita membentuk industri yang tetap kompetitif dan terbuka. Ini salah satu faktor mendisiplinkan perusahaan di Indonesia maupun di negara lain,” kata Sri di gedung DPR RI, Jakarta, Rabu (24/8).

Tidak efisiennya suatu perusahaan akan mempengaruhi proses hilirisasi dan penciptaan kandungan lokal di Indonesia. Dan tentunya hal tersebut akan merugikan negara, mengingat pemerintah terus memberikan modal namun perusahaan tersebut justru terus merugi.

“Kita tidak ingin membentuk industri yang menjadi sangat kerdil karena terus dilindungi secara terus menerus. Yang terjadi kita melindungi perusahaan yang sangat tidak efisien yang bahkan menyengsarakan banyak pihak,” imbuhnya.