Menjelang berakhirnya masa pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla, pemerintah tengah membuat Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) untuk 5 tahun ke depan (2020-2024). Salah satu yang tengah dibuat adalah sektor batu bara, mulai dari batasan produksi hingga ekspornya.
Perencana Utama Kedeputian Maritim dan Sumber Daya Mineral Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional Republik Indonesia/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Hanan Nugroho mengatakan, dalam RPJMN 5 tahun ke depan, tren untuk ekspor batu bara diperkirakan akan turun dari RPJMN sebelumnya. Tapi, dia enggan memberi tahu besaran penurunan jatah ekspor sumber daya alam ini karena belum ditetapkan.
“Kami usulkan memang turun (ekspor batu bara),” kata dia usai diskusi publik bersama Publish What You Pay di Balai Kartini, Jakarta, Kamis (17/7).
Dalam RPJMN 2015-2019, Bappenas menetapkan target produksi dan ekspor batu bara per tahunnya, termasuk jatah batu bara yang dijual ke PLN dengan harga murah (Domestic Market Obligation/DMO) maksimal USD 70 per ton.
Dikutip dalam laporan PWYP, total target produksi batu bara turun. Pada 2015, target total produksi 425 juta ton dengan rincian DMO 102 juta ton dan ekspor 323 juta ton. Pada 2016, target total produksi turun menjadi 419 juta ton dengan rincian DMO naik jadi 111 juta ton dan ekspor turun jadi 308 juta ton.
Pada 2017, total target produksi turun jadi 413 juta ton dengan rincian DMO 121 juta ton dan ekspor turun jadi 292 juta ton. Pada 2018, target produksi turun menjadi 406 juta ton dengan rincian DMO 131 juta ton dan ekspor turun menjadi 275 juta ton.
Pada 2019, total target produksi turun jadi 400 juta ton dengan rincian DMO naik drastis jadi 240 juta ton dan ekspor turun jadi 160 juta ton.
Tapi, dalam kenyataanya, pemerintah melanggar sendiri RPJMN tersebut dengan mengeluarkan aturan di Kementerian ESDM yang menaikkan target produksi pada 2018 menjadi 458 juta ton. Tak cukup sampai di situ, Melalui Keputusan Menteri ESDM No. 1924 K/30/MEM/2018, Menteri ESDM Ignasius Jonan telah mengeluarkan izin kuota produksi batu bara tambahan 100 juta ton.
Untuk 2018 saja, total target produksi batu bara menjadi 585 juta ton. Alasannya untuk menggenjot ekspor. Sementara jika mengacu pada Peraturan Presiden Nomor 22 Tahun 2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional maksimal 400 juta ton di 2019.
Hanan bilang, dengan bakal adanya penurunan tren target produksi batu bara dalam RPJMN 5 tahun mendatang, bukan berarti mengurangi pasokan di dalam negeri. Dia mengatakan, konsumsi dalam negeri harus tetap jadi nomor satu untuk dipenuhi, itu artinya jatah ekspor yang akan dikurangi.
“Turun itu bukan berarti konsumsi dalam negeri itu turun. Konsumsi dalam negeri naik, maksudnya untuk ekspornya dikurangi. Turun ini dimaksudkan untuk lebih memprioritaskan ketahanan energi nasional kita ke depan, proyeksikan ekonomi tumbuh, terus ini akan butuhkan energi. Energi yang kita punya paling banyak itu batu bara. Jadi disiapkan untuk optimalkan pasokan energi nasional ke depan,” kata dia.
RPJMN 2020-2024 sendiri rencananya bakal disahkan oleh Presiden Joko Widodo sebagai presiden terpilih pada Januari 2020 atau 3 bulan setelah dilantik pada Oktober 2019 mendatang.
Sementara itu, Direktur Teknik dan Lingkungan Mineral dan Batu Bara Ditjen Minerba Kementerian ESDM Sri Rahardjo mengatakan, produksi batu bara memang terus naik, jauh dari RPJMN yang sudah dibuat Bappenas. Ini menjadi dilema karena di sisi lain, negara juga butuh devisa dari nilai ekspor batu bara yang sekarang diubah pelan-pelan agar tak hanya dijual begitu saja.
“Ini dilematis memang. Di dalam UU Energi Nomor 30 Tahun 2007, kemudian turunannya kebijakan energi nasional Peraturan Pemerintah Tahun 74 disebut bahwa batu bara sumber energi enggak boleh atau pelan-pelan atau dia harus diubah jadi modal pembangunan,” ucapnya.
Kata dia, kementerian tak bisa begitu saja membatasi produksi batu bara tiap perusahaan. Sebab masing-masing dari mereka sudah memiliki kajian bisnisnya sendiri untuk berproduksi.
Jika produksi begitu saja dihalangi, bisa berdampak pada investasi yang ada. Apalagi jika si perusahaan telah memenuhi persyaratan untuk berbisnis di Indonesia.
“Jadi agak sulit buat pemerintah memotong begitu saja tingkat produksinya karena ganggu investasi. Jadi atas nama bisnis, itu bisa dibenarkan (genjot produksi). Tingkat produksi batu bara terus naik dan kebetulan harga juga naik. Jadi andalan buat devisa,” kata dia.
Meski begitu, dia yakin pemerintah tak selamanya mengandalkan batu bara sebagai komoditas ekspor peraup devisa. Apalagi, saat ini Indonesia fokus pada hilirisasi mineral dan tambang agar bisa diolah di dalam negeri untuk meningkatkan nilai tambah.
Sumber: Kumparan