Saat meresmikan Taman Kehati Sawerigading Wallacea yang berada di kawasaan Tambang Vale akhir Maret lalu, Presiden Joko Widodo mendorong perusahaan tambang di Indonesia meniru yang dilakukan Vale. Pujian serupa juga pernah disampaikan Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan. Saat berkunjung ke tambang nikel dan smelter Vale di Sorowako Sulawesi Selatan akhir November tahun lalu, Luhut mengatakan Vale menerapkan praktik pertambangan yang baik.

Koordinator Nasional lembaga koalisi masyarakat sipil Publish What You Pay (PWYP) Indonesia, Aryanto Nugroho, mengatakan penerapan prinsip dan standar Environmental, Social, dan Governance (ESG) dalam operasionalisasi industri ekstraktif itu merupakan hal penting yang harus diperhatikan. Sejauh ini, pihak PT Vale Indonesia (PT VI) menegaskan komitmennya dalam operasionalisasi pengolahan nikel berusaha untuk menerapkan standar ESG internasional. “Keuntungan ESG itu jangka panjang, bukan jangka pendek. Artinya, bukan sekadar cuan, tetapi standar lingkungan, berkelanjutan, dan ini masuk dalam bagian dari transisi energi berkeadilan,” tegas Aryanto.

Karena itu, Aryanto mengingatkan pemerintah berhati-hati melakukan proses divestasi saham PT VI. Pemerintah yang diwakili oleh Mining Industry Indonesia (Mind Id), dalam proses divestasi ini disarankan untuk tetap memperhatikan dan menjalankan prinsip ESG yang mendukung terwujudnya transisi energi bersih di Indonesia. “Jangan sampai ingin memberikan keuntungan, justru divestasi (PT Vale Indonesia) itu membuat kerugian bagi masyarakat,” tutur pemerhati persoalan industri ekstraktif, Aryanto, dalam keterangan tertulis, Senin (24/7).

Sebagai salah satu pelopor industri nikel di Indonesia, PT VI termasuk perusahaan yang berkomitmen pada penerapan energi bersih. Karena itu, menurut Aryanto, jika proses divestasi saham PT VI rampung, komitmen pada energi bersih dan penerapan prinsip ESG yang selama ini dilakukan oleh PT VI harus tetap dikedepankan dan menjadi agenda pemerintah. “Kalau mau benar-benar transisi energi, tidak perlu ada lagi penggunaan energi batu bara,” kata Aryanto.

Aryanto menilai sejauh ini Indonesia masih perlu banyak mengejar ketertinggalan soal penerapan ESG dalam industri ekstraktif. Ia juga mengatakan Indonesia masih harus lebih banyak menerapkan prinsip ESG pada pemberian izin hingga syarat investasi. “Dukung implementasi ESG, kemudian standar ESG diadopsi oleh pemerintah. Itu menjadi hal penting dalam proses divestasi,” ujarnya.

Itu perlu dilakukan agar jangan ada lagi kemunduran dalam penerapan ESG di berbagai lini pemerintahan, termasuk industri ekstraktif. “Kalau bicara soal industri jangan bangun lagi smelter-smelter yang memakai bahan bakar batu bara. Karena transisi (energi bersih) itu jadi semu karena ada lagi batu baranya,” kata Aryanto. (Z-2)

Sumber: Media Indonesia